Minggu, 03 Januari 2010

Tragedi Paletina Menurut Al Quran dan Hadist


Termasuk Tragedi Jalur Gaza Palestina

bersama :

Asy-Syaikh DR. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim Al-Bukhari hafizhahullah

Pengantar : Alhamdulillah, berkat rahmat dan taufiq Allah serta kemudahan dari-Nya Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim Al-Bukhari hafizhahullah berkesempatan menyampaikan muhadharah (ceramah) dan nasehat kepada kaum muslimin. Muhadharah tersebut disampaikan via telepon di Ma’had As-Salafy Jember pada 24 Muharram 1430 H bertepatan dengan 21 Januari 2009.

Alhamdulillah rekaman muhadharah tersebut telah kami tampilkan dan mendapat sambutan yang sangat hangat dari para pembaca sekalian. Kami mohon maaf jika pada rekaman tersebut terdapat suara atau kalimat yang kurang jelas.

Untuk membantu segenap pembaca sekalian memahami isi muhadharah tersebut, kami berupaya menerjemahkannya. Namun karena ada bagian dari rekaman yang kurang jelas, di samping adanya banyak kekurangan pada kami, mohon ma’af jika ada bagian yang terpaksa tidak kami terjemahkan sehingga kami beri titik-titik saja, atau bahkan mungkin ada yang kurang jelas atau salah dalam menerjemahkan.

Semoga upaya ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Saran dan kritik membangun kami harapkan dari pembaca sekalian.

NB : untuk bagian tanya jawab belum kami terjemahkan.

Penerjemah

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن نبينا محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم،

أما بعد؛ فأن أصدق الحديث كتاب الله تعالى وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار، وبعد :

Wahai saudara-saudaraku yang mulia.

Saya memuji Allah Jalla wa ‘Azz, Dzat yang tidak ada sesuatupun yang berhak diibadahi selain Dia dan tidak ada Rabb kecuali Dia, Yang telah menyiapkan pertemuan ini untuk kami dan antum semua. Dia adalah Dzat yang kita memohon kepada-Nya agar memberikan barakah dalam segala urusan yang bermanfaat untuk kita semua, dari apa yang ucapkan dan kita dengar. Sesungguhnya Dia Jawadun Karim.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri kemudian saudara-saudaraku semua, dengan satu hadits yang mulia dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini merupakan satu jawami’il kalim (penjelasan yang ringkas namun sangat padat dan luas maknanya) dari beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah alahish shalatu was salam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya masing-masing, hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ »

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya.” [1])

Permasalahan yang ingin aku jelaskan tentangnya dari hadits agung dan mulia di atas adalah kalimat pertama dari sabda beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam.”

Hadits yang agung ini sebagaimana aku katakan tadi termasuk jawami’il kalim Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara yang tersebut dalam hadits tersebut, yaitu berucap dengan kata yang baik atau diam, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu, semuanya termasuk prilaku iman.

Suatu yang sudah diketahui, wahai saudaraku, bahwa di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa makna Iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan. Amalan-amalan tersebut, yakni amal-amal iman,

- terkadang terkait dengan hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla seperti melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan serta yang semisalnya,

- terkadang terkait dengan hak-hak Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, seperti mengagungkan berbagai sunnah beliau dan berittiba’ (mengikuti) sunnah-sunnah tersebut serta membela dan menegakkanya, kemudian berdakwah kepadanya,

- terkadang berkaitan dengan hak-hak manusia seperti memuliakan tamu, memuliakan tetangga, menghilangkan gangguan, dan yang semisalnya.

Dari penjelasanku bahwa amal terkadang terkait dengan hak-hak manusia, maka itu juga meliputi hak-hak kedua orang tua, hak tetangga, hak tamu, hak anak-anak, hak-hak isteri, dan lain-lain.

- Di antaranya juga ada yang berkaitan dengan hak seseorang terhadap dirinya, yaitu sikap istiqamah pada lisannya sebagaimana terdapat hadits dalam kitab Al-Musnad dan yang lainnya :

لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ

Tidak akan bisa istiqamah iman seorang hamba sampai hatinya istiqamah, dan tidak akan bisa istiqamah hatinya sampai lisannya istiqamah. [2])

Meskipun tentang derajat hadits ini masih ada perbincangan (di kalangan para ‘ulama pakar hadits) namun ada hadits (lain) yang menunjukkan pada makna tersebut, yang (hadits lain tersebut) lebih utama untuk dijadikan dalil, yaitu hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim :

« إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَنْزِلُ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »

Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat, ia tidak mengerti tentang kandungan ucapannya tersebut ternyata kalimat itu menggelincirkannya ke dalam neraka sejarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. [3]

Dalam Shahih Al-Bukhari sabda Rasulullah r :

« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً، يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ«

Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat yang mendatangkan keridhaan Allah, sehingga Allah pun mengangkatnya beberapa derajat. Sungguh seseorang benar-benar bisa ia berucap dengan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah namun ia tidak mempedulikan kandungan ucapannya tersebut sehingga menggelincirkannya ke dalam neraka. [4])

Jadi termasuk hak-hak iman adalah hak-hak yang wajib ia penuhi terkait antara dirinya dan Rabbnya Jalla wa ‘Ala.

Kalau kita telah mengerti hal ini, maka jelasnya bagi kita nilai penting hadits ini, yaitu sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berucap dengan kata-kata yang baik atau diam.

Seseorang apabila ia merenungkan makna hadits yang agung ini dengan penuh keadilan dan pemahaman yang sempurna, maka akan jelas baginya hal-hal berikut :

Pertama : bahwa seorang hamba itu diperintahkan untuk berucap dengan kata-kata yang baik.

Kedua : seorang hamba itu diperintahkan untuk berdakwah kepadanya

Ketiga : seorang hamba dilarang dari berbicara dengan kebatilan

Keempat : dilarang untuk berbicara membela kebatilan

Kelima : diperintah untuk diam dari

Sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama ketika mereka beristinbath (mengambil kesimpulan hukum) dari hadits yang agung ini, mereka (para ‘ulama tersebut) berkata :

Yaitu ada dua jenis ucapan dan dua jenis diam

1. a. Ucapan yang pengucapnya diberi pahala

b. Ucapan yang pengucapnya berdosa

2. a. Diam yang pelakunya diberi pahala

b. Diam yang pelakunya diberi dosa

1. a. Ucapan yang pengucapnya diberi pahala adalah barangsiapa yang mengucapkan kata-kata yang baik. Kebaikan di sini maknanya umum, termasuk di dalamnya adalah menjelaskan al-haq (kebenaran) kepada umat, membela kebenaran tersebut, dan orang-orang pendukung kebenaran serta para pengusungnya. Termasuk juga mengajarkan al-haq kepada umat manusia, amar ma’ruf nahi munkar, dan berbagai upaya menunjukkan pada kebaikan lainnya yang dinyatakan oleh Allah Jalla wa ‘Ala :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ [آل عمران/110]

Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,

Barangsiapa yang mengucapkan perkataan yang baik, yang ditegakkan di atas ilmu dan keadilan maka sungguh ia telah memenuhi sifat-sifat dan prilaku-prilaku iman, dan sungguh ia telah menyerupai para nabi dan menyerupai hamba-hamba Allah yang shalihin dengan ia memerintahkan kepada yang haq dan mencegah dari kebatilan.

1. b. Jenis kedua adalah orang yang berbicara dengan kebatilan. Inilah yang pengucapnya diberi dosa. Bisa jadi ia berbicara namun ia berbicara dengan kebatilan ……………………. Menentang syari’at dan menolak kebenaran. Mereka inilah orang-orang yang diancam oleh Allah Jalla wa ‘Ala. Hadits ini mengandung ancaman tersebut. Barangsiapa yang mengucapkan kejelekan -wal’iyyadzu billah- maka ia terkena ancaman dalam hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam yang sedang kita bahas ini. Barangsiapa melakukan yang bertentangan dengan sifat-sifat yang (tersebut dalam hadits yang agung) ini maka ia telah menghilangkan sifat-sifat yang tersebut dalam hadits ini.

Aku katakan, bahwa Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ، إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا، فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا، وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (135) [النساء/135]

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri, atau kedua orang tua kalian, maupun kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan. [An-Nisa` : 135]

Ayat ini sangat agung dalam menjaga kehormatan dan harta seorang hamba, yaitu dengan melaksanakan perintah Allah untuk berbuat adil dan persaksian yang hak walaupun terhadap diri sendiri, kedua orang tua, dan karib kerabat, serta kebenciannya terhadap perkara-perkara yang dilarang …………….. . Oleh karena itu Allah melarangnya. Allah Jalla wa ‘Azz berfirman : Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Allah melarang mereka dari mengikuti hawa nafsu, penyebab ditinggalkannya keadilan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.[5])

Adapun firman Allah : Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam karya besarnya, yaitu kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah [6]) :

ذكر سبحانه السببين الموجبين لكتمان الحق محذرا منهما ومتوعدا عليهما

أحدهما : اللي

والآخر : الاعراض

فإن الحق اذا ظهرت حجته ولم يجد من يروم دفعها طريقا إلى دفعها أعرض عنها وأمسك عن ذكرها

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua sebab yang mengantarkan kepada perbuatan menyembunyikan (menutup-nutupi) kebenaran, seraya Allah memperingatkan dan mengancam kedua perbuatan :

Pertama : Memutarbalikkan (kata-kata

Kedua : Enggan menjadi saksi

Karena kebenaran itu, apabila telah tampak hujjahnya dan tidak ada orang yang … .”

Aku katakan : Maka ini termasuk

2. b. sikap diam yang pelakunya berdosa karenanya, sebab dia mengetahui kebenaran namun ia menyembunyikannya.

Ini penjelasan bagian kedua dari pembagian di atas, bahwa diam itu ada yang diberi pahala, dan yang kedua ada diam yang mendapat dosa.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan :

أعرض عنها وأمسك عن ذكرها فكان شيطانا أخرس وتارة يلويها ويحرفها

“Berpaling darinya dan menahan dari menyebutkan kebenaran tersebut, maka ia menjadi syaithan bisa yang terkadang ia memutarbalikkan dan membolakbalikkan kebenaran tersebut.”

Bisa jadi ia mau menyebutkan kebenaran, namun dengan ia memutarbalikkan kebenaran tersebut. Ini termasuk mengucapkan kebatilan yang pelakunya juga berdosa.

Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan :

اللي مثال الفتل وهو التحريف

وهو نوعان : لي في اللفظ ولي في المعنى

فاللي في اللفظ أن يلفظ بها على وجه لايستلزم الحق إما بزيادة لفظه أو نقصانها أو إبدالها بغيرها

ولي في كيفية أدائها وإيهام السامع لفظا ومراده غير ذلك، كما كان اليهود يلوون السنتهم بالسلام على النبي r وغيره، فهذا أحد نوعي اللي

والنوع الثاني منه : لي المعنى وهو تحريفه وتاويل اللفظ على خلاف مراد المتكلم به وتحميله مالم يرده أو يسقط منه بعض ما أراد به، ونحو هذا من لي المعاني؛ فقال تعالى : وان تلووا او تعرضوا فان الله كان بما تعملون خبيرا

ولما كان الشاهد مطالبا باداء الشهادة على وجهها فلا يكتمها ولا يغيرها كان الاعراض نظير الكتمان، واللي نظير تغييرها وتبديلها

فتأمل ما تحت هذه الاية من كنوز العلم

“Memutarbalikan merupakan contoh pemalingan, yaitu at-tahrif (memalingkan al-haq tersebut dari makna sebenarnya). Pemutarbalikkan itu ada dua jenis :

- Pemutarbalikan lafazh

- Pemutarbalikkan makna

Pemutarbalikan lafazh, adalah mengucapkan kata-kata yang tidak bermakna al-haq. Bisa jadi dengan melakukan penambahan atau pengurangan kata, atau bisa jadi menggantinya dengan kata-kata lainnya. Termasuk juga pemutarbalikan dalam penyampaikan dengan mengesankan pada pendengar pada suatu lafazh tertentu padahal yang dimaukan bukan itu. Seperti perbuatan kaum Yahudi yang mengesankan bahwa lisan mereka menyucapkan salam kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan lainnya. Inilah jenis pertama dari dua jenis pemutarbalikan.

Adapun jenis kedua adalah, pemutarbalikan makna, yaitu memalingkan dan menafsirkan makna lafazh dengan tidak sesuai dengan yang dimaukan oleh sang pengucapnya atau membawanya kepada pengertian yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh sang pengucap, atau menghilangkan sebagian makna yang dimaksudkan, dan berbagai bentuk pemutarbalikkan makna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ” Jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.”

Apabila seorang saksi dituntut untuk memberikan persaksiannya dengan benar, tidak menyembunyikan atau mengubahnya, maka sikap berpaling/tidak mau (memberikan kesaksian) sama dengan menyembunyikan (persaksian/kebenaran), sedangkan memutarbalikkan kata/makna itu sama dengan mengubah atau menggantinya.

Maka renungkanlah apa yang dikandung oleh ayat ini berupa perbendaharaan ilmu.

-sekian penjelasan Ibnul Qayyim semoga Allah merahmati dan mengampuni beliau-

Maka ucapan apabila dengan kebatilan maka itu termasuk pemutarbalikkan (kebenaran) dan sikap berpaling dari upaya menjelaskan kebenaran kepada umat.

Jenis Kedua, sikap diam -sebagaimana telah aku sebutkan bahwa ada dua bentuk sikap diam, yaitu diam yang diberi pahala dan diam yang mendapat dosa. Adapun diam yang mendapat pahala adalah menahan dari berbicara dengan kebatilan -

Adapun jenis kedua diam yang mendapat dosa, adalah diam dari menjelaskan kebenaran atau ada kebatilan namun ia diam. Wal’iyyadzubillah.

Oleh karena itu, seorang hamba harus menyadari bahwa Allah kelak akan menghisabnya, dan tidaklah terucap satu patah kata pun kecuali di sisinya ada malaikat pengawas yang selalu hadir. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18) [ق/17، 18]

(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qaf : 17-18]

Seorang yang senantiasa menghitung dirinya dan senantiasa berpikir jernih maka dia akan senantiasa mencari kekurangan dirinya, senantiasa merenungkan kandungan hadits-hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak bersikap seperti orang-orang dungu yang membuatnya berbicara dengan kebatilan atau diam dari kebenaran ketika ia mampu menjelaskannya.

Dari hadits ini kita mengetahui bahwa kalimat yang bukan merupakan kebaikan maka diam darinya lebih utama dari berbicara dengannya, kecuali apabila ada keperluan yang mengharuskan untuk mengucapkannya. Oleh karena itu terdapat riwayat dari shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallah ‘anhu bahwa beliau berkata :

« إياكم وفضول الكلام، حسب امريء ما بلغ حاجته »

“hati-hati kalian dari ucapan-ucapan yang berlebih. Cukuplah seseorang itu sekadar kebutuhannya.” [7])

Oleh karena diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa manusia binasa dengan sebab kelebihan harta dan pembicaraannya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam An-Nakha’i rahimahullah. [8]) Termasuk dalam hal ini seorang yang hendak berbicara dengan sesuatu yang tidak ada keperluan atau menfaatnya, yaitu dia akan tertimpa kekerasan (hati) dan akan banyak tergelincir. Lahaula wala Quwwata illa billah.

Oleh karena itu para ‘ulama memuji sikap diam. Mereka mengatakan :

الصمت حكمة وقليل فاعله

Diam itu hikmah, namun sedikit sekali yang mau melakukannya. [9])

Wahb bin Munabbih juga berkata :

أجمعت الحكماء على أن رأس الحكمة الصمت

Para ahli hikmah sepakat bahwa hikmah yang paling utama adalah sikap diam. [10])

Sikap diam dengan pengertian yang telah kami jelaskan, yaitu :

- diam dari berbicara dengan kebatilan atau sesuatu yang tidak ada perlunya,

- dan sikap diam dari menjelaskan kebenaran, maka jenis ini mendapat dosa.

Maka berbicara itu tidaklah diperintahkan secara mutlak, demikian juga tidaklah sikap diam itu diperintahkan secara mutlak. Namun yang wajib adalah berbicara dengan kebaikan, dan diam dari berucap dengan kejelekan.

Semoga sampai di sini penjelasan tentang hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam di atas sudah mencukupi dalam menjelaskan maksud hadits tersebut dalam konteks ini.

# # #

Saya katakan wahai saudara-saudaraku yang mulia,

Di antara yang termasuk dalam hadits ini, yaitu hadits Abu Hurairah di atas, bahwa banyak orang yang berani berbicara dalam permasalahan-permasalahan yang mereka sebenarnya tidak mengetahuinya. Maka ini termasuk berbicara dengan kebatilan, dan pelakunya mendapat ancaman. Inilah yang mengantarkanku untuk menyampaikan peringatan ini, bahwa banyak orang pada hari ini -walahaula wal quwwata illa billah- yang berani ikut-ikutan banyak bicara, namun -wal’iyyadzu billah- sedikit dari mereka yang sukses dan selamat ucapannya dari ancaman yang terdapat dalam hadits tersebut. Bahkan banyak dari mereka yang terkenai ancaman. Karena dia telah menjerumuskan dirinya, berani berkata atas nama (agama) Allah sesuatu yang tidak ia ketahui, tidak menahan dirinya …. Bahkan sebagiannya berani lancang terhadap syari’at. Padahal dalil-dalil syariat menunjukkan pada suatu yang berbeda dengan ucapannya, baik secara lafazh maupun secara istinbath.

Maka hendaknya umat manusia malu dari (perbuatan) tersebut, hendaknya mereka takut kepada Allah. Karena kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban dari mereka semua atas segala perkataan dan ucapannya. Hendaknya mereka takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

Oleh karena itu Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, sebagaimana dalam kitab karya beliau Ar-Risalah yang sangat terkenal :

الناس في العلم طبقات موقعهم من العلم بقدر درجاتهم في العلم به، فحق على طلبة العلم بلوغ غاية جهدهم في الاستكثار من علمه، والصبر على كل عارض دون طلبه، وإخلاص النية لله في استدراك علمه نصا واستنباطا، والرغبة إلى الله في العون عليه فإنه لا يدرك خير إلا بعونه، فإن من أدرك علم أحكام الله في كتابه نصا واستدلالا ووفقه الله للقول والعمل بما علم منه فاز بالفضيلة في دينه ودنياه، وانتفت عنه الريب، ونورت في قلبه الحكمة، واستوجب من الدين موضع الامامة

“Umat manusia dalam hal ilmu bertingkat-tingkat. Kedudukan mereka terhadap ilmu sesuai dengan kadar mereka dalam ilmu tersebut. Maka wajib atas para penuntut ilmu :

- menempatkan puncak tujuan keseriusannya (dalam menuntut ilmu) adalah dalam rangka memperbanyak ilmunya,

- sabar atas setiap ganggungan/penghalang dalam upayanya menuntut ilmu,

- mengikhlashkan niatnya karena Allah dalam memahami ilmunya baik secara nash (teks) maupun istinbath (kesimpulan),

- dan senantiasa berharap kepada Allah agar senantiasa mendapat pertolongan-Nya dalam menuntut ilmu karena kebaikan itu tidak akan bisa diraih kecuali dengan pertolongan-Nya.

Sesungguhnya barangsiapa yang mendapatkan ilmu tentang hukum-hukum Allah dalam kitab-Nya baik secara nash (teks) maupun pendalilan dan Allah memberikan taufiq kepadanya untuk berucap dan beramal dengan ilmu tersebut, maka ia telah sukses dengan keutamaan dalam agama dan dunianya, sirnalah darinya berbagai keraguan, hikmah bercahaya dalam hatinya, dan mengantarkannya meraih posisi imamah (kepemimpinan).”

Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأَقَاوِيلِ (44) لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46) فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ (47) [الحاقة/44-47]

“Seandainya dia (Muhammad) membuat-buat sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” [Al-Haqqah : 44 - 47]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :

يقول تعالى: { وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا } أي: محمد r لو كان كما يزعمون مفتريا علينا، فزاد في الرسالة أو نقص منها، أو قال شيئا من عنده فنسبه إلينا، وليس كذلك، لعاجلناه بالعقوبة. ولهذا قال { لأخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ } قيل: معناه لانتقمنا منه باليمين؛ لأنها أشد في البطش، وقيل: لأخذنا منه بيمينه.

{ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ } قال ابن عباس: وهو نياط القلب، وهو العِرْقُ الذي القلب معلق فيه.

وقوله: { فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ } أي: فما يقدر أحد منكم على أن يحجز بيننا وبينه إذا أردنا به شيئا من ذلك. والمعنى في هذا بل هو صادق بار راشد؛ لأن الله، عز وجل، مقرر له ما يبلغه عنه، ومؤيد له بالمعجزات الباهرات والدلالات القاطعات.

Allah Ta’ala berfirman : “Seandainya dia membuat-buat atas (nama) Kami.” yakni Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam kalau seandainya ia berbuat kedustaan atas nama Kami, sehingga dia menambah atau mengurangi risalah, atau ia mengucapkan sesuatu dari dirinya sendiri kemudian menisbahkannya kepada Kami padahal tidak demikian, maka niscaya Kami segerakan hukuman untuknya.

Oleh karena itu Allah berfirman : “niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.” Dikatakan bahwa maknanya adalah : Niscaya Kami siksa dia dengan tangan kanan, karena tangan kanan lebih kuat siksanya. Adapula yang mengatakan bahwa maknanya adalah : Niscaya Kami siksa dia dari kanannya.

“Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” Ibnu ‘Abbas berkata : itu adalah tali jantung. Yaitu urat yang jantung bergantung padanya.

Firman Allah : “Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” Yakni tidak ada seorangpun dari kalian yang mampu untuk menghalangi antara Kami dan dia apabila Kami telah menghendaki sesuatu dari itu.

Makna ayat ini : bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang jujur, baik, dan berakal jernih. Karena Allah Ta’ala telah menyetujui segala yang beliau sampai dari-Nya dan menyokong beliau dengan berbagai mukjizat yang jelas dan bukti-bukti yang meyakinkan.

-selesai Ibnu Katsir rahimahullah -

Jadi, berucap tanpa atas dasar ilmu merupakan kedustaan dan kebohongan atas nama syari’at, sekaligus kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Jalla wa ‘Ala tidak memperkenankan kepada seorang pun untuk membuat-buat perkataan atas nama-Nya, dan Allah tidak membolehkan perbuatan tersebut bahkan meskipun terhadap Rasul-Nya sekalipun, dan sama sekali tidak, maka bagaimana dengan orang yang tingkatannya di bawah Rasulullah?

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ [الأنعام/93]

“Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya.” [Al-An’am : 93]

Al-’Allamah Ibnu Sa’di rahimahullah berkata :

يقول تعالى: لا أحد أعظم ظلما، ولا أكبر جرما، ممن كذب [على] الله. بأن نسب إلى الله قولا أو حكما وهو تعالى بريء منه، وإنما كان هذا أظلم الخلق، لأن فيه من الكذب، وتغيير الأديان أصولها، وفروعها، ونسبة ذلك إلى الله -ما هو من أكبر المفاسد.

“Allah Ta’ala berfirman : Tidak ada seorang pun yang lebih besar kezhalimannya dan lebih besar kejahatannya daripada orang yang berdusta atas nama Allah, yaitu dengan ia menisbahkan kepada Allah suatu perkataan atau hukum padahal Allah Ta’ala berlepas diri darinya. Orang tersebut menjadi makhluk yang paling zhalim karena pada perbuatannya tersebut terdapat kedustaan dan mengubah agama baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, kemudian menisbahkannya kepada Allah. Tidaklah perbuatan tersebut kecuali merupakan kerusakan yang paling besar.”

Wahai saudara-saudaraku yang mulianya,

Permasalahan ini merupakan permasalahan yang besar, namun banyak orang yang berani ikut-ikutan berbicara, masuk dalam perkara yang tidak ia ketahui, dan berbicara atas nama agama Allah tanpa dasar ilmu, serta berani ikut berbicara dalam perkara-perkara besar dan peristiwa-peristiwa yang rumit. Padahal yang wajib atas mereka untuk berpegang kepada al-haq, kalau memang ada kebaikan maka dia berbicara berdasarkan ilmu dan pengetahuan namun kalau dia tidak tahu maka hendaknya dia diam dan mengembalikannya kepada para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Di antaranya adalah tragedi sekarang ini, yang membuat kacau akal banyak orang. Muncul orang-orang yang berani ikut berbicara dan menjelaskan tragedi tersebut dengan penjelasan yang sangat jauh dari bimbingan syari’at, baik secara nash maupun secara istinbath (kesimpulan-kesimpulan hukum).

Peristiwa dan tragedi yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin penduduk Jalur Gaza di Palestina.

Saya katakan, permasalahan yang sangat jelas bahwa :

C Kehormatan Darah satu orang mukmin sangat besar di sisi Allah Jalla wa ‘Ala. Banyak terdapat nash/dalil tentang hal tersebut, yang sangat menjunjung tinggi kehormatan darah seorang mukmin. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam kitab Jami’-nya, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar kemudian beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata :

« يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ! لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ! وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ! وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ! فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ »

“Wahai segenap orang-orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya muslim, maka pasti Allah akan terus mengikuti aibnya. Barangsiapa yang diikuti oleh Allah segala aibnya, maka pasti Allah akan membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”

Maka suatu ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan (kepada Ka’bah) : “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi Allah dibanding kamu.”

Al-Imam At-Tirmidzi berkata tentang kedudukan hadits tersebut : “Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah. [11])

Dalil-dalil dalam permasalahan ini sangat beraneka dan sangat banyak, yaitu tentang kehormatan darah satu orang mukmin.

Tidak diragukan bahwa permasalahan ini apabila sudah tertanam, yaitu merasakan besarnya nilai kehormatan darah seorang mukmin, maka akan sangat menyedihkan dia peristiwa yang ia dapatkan berupa perbuatan yang sangat besar dan kezhaliman yang sangat kejam yang dilakukan oleh bangsa Yahudi, umat yang dimurkai, yaitu kejahatan, kezhaliman, dan kebengisan mereka.

Kita, wahai saudara-saudaraku, tidak merasa aneh terhadap mereka atas berbagai kejahatan dan kezhaliman mereka. Karena mereka memang bangsa yang durhaka dan zhalim. Allah telah menyebutkan bahwa Yahudi adalah pembunuh para nabi Allah tanpa alasan yang benar. Maka apa yang bisa diharapkan dari bangsa yang zhalim itu, yang berani membunuh para nabi Allah tanpa alasan yang benar? Apa yang bisa diharapkan dari suatu bangsa yang tidak mencegah kemungkaran yang mereka lakukan?

Bangsa (Yahudi) tersebut adalah bangsa yang dimurkai, yang kita (Umat Islam) senantiasa berdo’a kepada Allah dalam setiap rakaat shalat kita agar Allah menjauhkan kita dari jalan mereka, yaitu dengan ucapan kita :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة/6، 7]

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [Al-Fatihah 6-7]

mereka yang dimurkai adalah bangsa Yahudi. Sedangkan mereka yang sesat adalah Nashara.

Ini yang pertama

C Kedua : Bahwa bentuk pertolongan kita terhadap saudara-saudara kita yang terzhalimi di segenap penjuru bumi wajib ditentukan berdasarkan hukum syari’at yang suci. Kita adalah umat yang dihukumi dan dirahmati dengan syari’at yang murni. Tidaklah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam wafat kecuali beliau telah meninggalkan kita di atas cahaya yang putih bersih, kondisi malam sama dengan kondisi siangnya, tidaklah menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.

Maka kita harus mengetahui sebab-sebab yang benar yang wajib kita menempuhnya dalam rangka kita memberikan pertolongan kepada orang-orang yang terzhalimi dari kalangan ahlul haq ahlus sunnah di mana pun mereka berada. Karena pertolongan syari’iyyah terhadap mereka saudara-saudara kita di sana terwujudkan dalam beberapa perkara :

* Mendo’akan untuk mereka fi zhahril ghaib (tanpa sepengetahuan mereka). Kita berdo’a kepada Allah Jalla wa ‘Azza untuk mereka agar Allah memberikan keteguhan dan hidayah, maghfirah, serta bersatu di atas al-haq dan dengan al-haq. Kita berdo’a kepada Allah pada sepertiga malam terakhir. Kita berdo’a kepada Allah dalam sujud sebagaimana sabda Nabi ‘alaihish shalatu was salam :

« وأما السجود فأكثروا فيه الدعاء؛ فإنه قمن أن يستجاب لكم »

Adapun ketika sujud, maka perbanyaklah do’a padanya. Karena itu lebih terjamin untuk terkabulnya do’a kalian. [12])

Kita berdo’a kepada Allah untuk mereka ketika waktu-waktu mustajab dikabulkannya do’a, sebagaimana diterangkan oleh dalil-dalil syar’i.

Akan sampai nanti jawaban untuk pertanyaan tentang masalah qunut dalam shalat. Benar kita berdo’a kepada Allah dalam qunut pada shalat wajib. Namun hal itu sangat terkait dengan izin waliyyul amr (pemerintah), sebagaimana akan datang penjelesannya biidznillah.

Maka kita memohon kepada Allah Jalla wa ‘Azza agar menolak dari kita, mereka, dan segenap kaum mukminin, berbagai kezhaliman dan yang semisalnya. Semoga Dia mengokohkan kita dan mereka di atas kebenaran, Islam, dan Sunnah.

* Juga kita membantu saudara-saudara kita tersebut, baik di Palestina atau pun lainnya, memberikan hal-hal yang mereka butuhkan dalam bentuk menjelaskan al-haq (kebenaran) kepada mereka, membimbing mereka kepada hal-hal yang bermanfaat bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3) [العصر/1-3]

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al-’Ashr : 1 - 3]

* Di antara bentuk bantuan kita terhadap mereka juga, mengulurkan tangan untuk mereka bagi barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk melakukannya, dalam bentuk sumbangan dana dan semisalnya yang disalurkan melalui jalur yang resmi dan terpercaya yang telah ditunjuk dan dipercaya oleh waliyyul amr (pemerintah) muslim serta diizinkan untuk menyampaikan dana bantuan ke sana. Ini bagi barangsiapa yang memiliki kemampuan, dan Allah tidaklah memberikan beban pada seseorang kecuali sebatas kemampuan yang ada padanya.

Maka cara menolong dan membantu mereka (kaum muslimin di Palestina) dilakukan dengan cara-cara di atas. Itulah bentuk-bentuk pertolongan dan bantuan untuk saudara-saudara kita di Palestina.

C Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan mereka bersabar, karena kesabaran merupakan ibadah sebagaimana jihad merupakan ibadah, sebagaimana pula shalat merupakan ibadah. Allah menuntut kita beribadah kepada-Nya dalam bentuk kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10) [الزمر/10]

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [Az-Zumar : 10]

Oleh karena itu juga terdapat hadits dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Nabi ‘alaihish shalatu was salam ketika beliau diutus sebagai rasul, lalu berimanlah orang-orang beriman, yang itu terjadi di Makkah. Ketika orang-orang kafir menyiksa kaum muslimin dengan siksaan yang sangat kejam, baik dalam bentuk pemukulan, penyiksaan, atau pun lainnya, namun hal itu tidak mendorong Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam untuk melakukan perlawanan. Maka berkatalah Khabbab bin Al-Arat Radhiyallah ‘anhu :

شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ r وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ : أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ -وفي رواية : بالمئشار- فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ

Kami mengadu kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kami? Berdo’alah (wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami?”

Maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam [13]) berkata : “Bahwa dulu seseorang dari kalangan umat sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa. [14])

Maka kesabaran merupakan salah satu ibadah yang besar. Kita sampaikan kepada saudara-saudara kita yang lemah di Palestina dan di semua tempat bimbingan untuk berpegang kepada al-haq (kebenaran). Kita harus tahu bahwa kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti, lebih wajib untuk diterangkan, terkhusus dalam kondisi seperti ini. …………

Barangsiapa yang mengira dengan berbagai emosi dan tindakan yang ada bahwa dirinya akan bisa menang maka dia telah salah. Aku tegaskan : dia telah salah.

Karena agama Islam ini, barangsiapa yang ingin membelanya maka ia harus tahu bagaimana cara dan metode Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam menolong agama Allah tersebut, sehingga Allah pun menolong beliau. Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (7) [محمد/7]

Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukan kalian. [Muhammad : 7]

Al-Imam Al-’Allamah Asy-Syinqithi rahimahullah berkata dalam kitab Adhwa`il Bayan tentang tafsir ayat di atas :

ذكر الله جل وعلا في هذه الآية الكريمة، أن المؤمنين، إن نصروا ربه نصرهم على أعدائهم، وثبت أقدامهم، أي عصمهم من الفرار والهزيمة .

وقد أوضح هذا المعنى في آيات كثيرة، في بعضها صفات الذين وعدهم بهذا النصر كقوله تعالى { وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ } [ الحج : 40 ] ثم بين صفات الموعودين بهذا النصر في قوله تعالى بعده { الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف وَنَهَوْاْ عَنِ المنكر وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمور } [ الحج : 41 ] وكقوله تعالى : { وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نصرالمؤمنين } [ الروم : 47 ] ، وقوله تعالى : { إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا والذين آمَنُواْ فِي الحياة الدنيا } [ غافر : 51 ] وقوله تعالى : { وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا المرسلين إِنَّهُمْ لَهُمُ المنصورون وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الغالبون } [ الصافات : 171 - 173 ] إلى غير ذلك من الآيات . وقوله تعالى في بيان صفات من وعدهم بالنصر في الآيات المذكورة : { الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف } [ الحج : 41 ] الآية . يدل على أن الذين لا يقيمون الصلاة ولا يؤتون الزكاة ولا يأمرون بالمعروف ولا ينهون عن المنكر ، ليس لهم وعد من الله بالنصر ألبتة .

فمثلهم كمثل الأجير الذي لم يعمل لمستأجره شيئاً ثم جاءه يطلب منه الأجرة .

فالذين يرتكبون جميع المعاصي ممن يتسمون باسم المسلمين ثم يقولون : إن الله سينصرنا مغرورون لأنهم ليسوا من حزب الله الموعدين بنصره كما لا يخفى .

ومعنى نصر المؤمنين لله، نصرهم لدينه ولكتابه، وسعيهم وجهادهم، في أن تكون كلمته هي العليا، وأن تقام حدوده في أرضه ، وتتمثل أوامره وتجتنب نواهيه، ويحكم في عباده بما أنزل على رسوله r.

“Allah Jalla wa ‘Ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini, bahwa kaum mukminin apabila mereka menolong (agama) Rabbnya, niscaya Allah menolong mereka atas musuh-musunya dan Allah kokohkan kedudukan mereka, yakni Allah jaga mereka dari terpukul mundur dan kekalahan.

Allah telah menjelaskan makna ini dalam banyak ayat-Nya. Pada sebagiannya Allah menjelaskan tentang sifat orang-orang yang Allah janjikan kepada mereka dengan kemenangan tersebut, seperti firman Allah Ta’ala :

{ وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ } [ الحج : 40 ]

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj : 40]

Kemudian Allah menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang mendapat janji dengan kemenangan tersebut pada ayat berikutnya :

{ الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف وَنَهَوْاْ عَنِ المنكر وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمور } [ الحج : 41 ]

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. [Al-Hajj : 41]

Juga seperti firman Allah Ta’ala :

{ وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نصرالمؤمنين } [ الروم : 47 ]

dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. [Ar-Rum : 47]

juga firman Allah Ta’ala :

{ إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا والذين آمَنُواْ فِي الحياة الدنيا } [ غافر : 51 ]

Sesungguhnya Kami benar-benar menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia [Ghafir : 51]

{ وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا المرسلين إِنَّهُمْ لَهُمُ المنصورون وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الغالبون } [ الصافات : 171 - 173 ]

Dan Sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. [Ash-Shaffat : 171-173]

Dan ayat-ayat lainnya.

Firman Allah Ta’ala tentang penjelasan sifat-sifat orang yang Allah janjikan kepada mereka kemenangan dalam ayat-ayat di atas, :

{ الذين إِنْ مَّكَّنَّاهُمْ فِي الأرض أَقَامُواْ الصلاة وَآتَوُاْ الزكاة وَأَمَرُواْ بالمعروف } [ الحج : 41 ] الآية

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf [Al-Hajj : 41]

Menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak mau mendirikan shalat, tidak membayar zakat, tidak memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan tidak mencegah kemungkaran, maka tidak ada untuk mereka janji kemenangan dari Allah sama sekali.

Permisalan mereka adalah seperti seorang pekerja yang tidak mau bekerja untuk orang yang memperkerjakannya sedikitpun, namun tiba-tiba ia datang kepada orang yang memperkerjakannya tersebut untuk minta upah/bayaran.

Maka orang-orang yang berbuat segenap kemaksiatan dari kalangan orang-orang yang menamakan diri sebagai muslimin, kemudian mereka mengatakan ‘bahwa Allah akan menolong kami’, maka mereka adalah orang-orang yang tertipu, karena mereka bukanlah hizbullah (golongannya Allah) yang mendapat janji kemenangan dari-Nya.

Makna pertolongan kaum mukminin terhadap Allah adalah : pembelaan mereka terhadap agama dan kitab-Nya, serta usaha dan jihad mereka dalam rangka menjadikan kalimat Allah itulah yang tinggi, tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi, terealisasinya segala perintah-Nya dan dijauhi segala larangan-Nya, serta diterapkan hukum terhadap hamba-hamba-Nya dengan hukum yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya Shallahu ‘alaihi wa Sallam.

- sekian penjelasan Al-Imam Asy-Syinqithi rahimahullah -

Banyak dari umat ini yang berani tampil dan berbicara tanpa ilmu berdasarkan dengan semata-mata semangat dan perasaan dengan mengira bahwa semangat semata bermanfaat, emosi bermanfaat, namun mereka tidak menimbang berbagai ucapan tersebut dengan timbangan syari’at yang suci. Mereka itu seperti orang-orang rendahan …………………………

Berbagai bentuk demonstrasi yang terjadi, yang bukan merupakan bagian dari agama Allah sedikitpun, itu merupakan perbuatan yang sia-sia saja, …. Yang sangat jauh dari akhlaq hamba-hamba Allah yang mencari pertolongan dari sisi Allah. Mereka (pada demonstran tersebut) adalah orang-orang yang tertipu dan menentang syari’at. Tidak satu hari pun mereka membela al-haq (kebenaran). Sungguh demi Allah, mereka tidak akan menang dan tidak akan mampu mengalahkan musuh-musuhnya, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Maka kita harus mengetahui batas-batas syari’at dalam menyikapi peristiwa-peristiwa besar seperti ini. Dulu pada masa Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab, apabila terjadi nazilah (peristiwa-peristiwa besar) menimpa para shahabat maka Khalifah ‘Umar mengumpulkan para shahabat veteran perang Badr untuk bermusyawarah menentukan jawaban, sikap dan penyelesaian.

Adapun pada masa kini maka masing-masing orang berani berbicara bukan atas dasar ilmu namun di atas kekacauan. …. dalam sebagian besar peristiwa dan kejadian, aku tidak mengatakan semuanya, namun aku katakan sebagian besar besar peristiwa dan kejadian.

Adapun perasaan, sungguh kasihan dia kalau tidak dibimbing dengan bimbingan syari’at. Sebagian manusia menyerukan jihad, bahwa jihad dan jihad .. dan banyak lagi berbagai seruan dan ajakan. Di antara seruan dan ajakan tersebut -sebagaimana telah aku katakan- adalah demonstrasi yang itu sama sekali tidak ada dalam syari’at Islam, bahkan engkau lihat wanita-wanita pun ikut keluar bersama kaum pria dalam kondisi mereka membuka auratnya pada sebagian negeri mirip telanjang, meneriak-neriakkan perang dan mengharap pertolongan dan kemenangan. Apa tindakan ini? Tindakan yang menentang syari’at? Apa tindakan yang menentang agama Allah ini? Kemudian mereka mengharap datangnya pertolongan dan kemenangan. Mana pengamalan kita terhadap (syari’at) sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syinqithi di atas. Apa kita adalah orang-orang yang pantas mendapat janji Allah berupa datangnya pertolongan? Padahal kita belum membela Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan kita belum membela agama Allah??! Kita belum menerapkan syari’at pada diri-diri kita masing-masing, dan kita belum memimpin diri kita, keluarga kita, dan semua yang dibawah tanggung jawab kita, dengan bimbingan Islam dan Sunnah. Bahkan sebagian mereka apabila datang kepada mereka ketentuan Islam dan Sunnah, mereka malah melemparkannya ke belakang punggung mereka.

Sungguh demi Allah, kalau seandainya umat ini mau merealisasikan segala yang diwajibkan oleh Allah atas mereka, niscaya mereka akan melihat pertolongan turun kepada mereka. Simak penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in ketika beliau menjelaskan kesempurnaan dan kelengkapan syari’at :

وَهَذَا الأَصْلُ مِنْ أَهَمِّ الأُصُولِ وَأَنْفَعِهَا ، وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى حَرْفٍ وَاحِدٍ؛ وَهُوَ عُمُومُ رِسَالَتِهِ r، بِالنِّسْبَةِ إلَى كُلِّ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ الْعِبَادُ فِي مَعَارِفِهِمْ وَعُلُومِهِمْ وَأَعْمَالِهِمْ ، وَأَنَّهُ لَمْ يُحْوِجْ أُمَّتَهُ إلَى أَحَدٍ بَعْدَهُ ، وَإِنَّمَا حَاجَتُهُمْ إلَى مَنْ يُبَلِّغُهُمْ عَنْهُ مَا جَاءَ بِهِ.

فَلِرِسَالَتِهِ عُمُومَانِ مَحْفُوظَانِ لا يَتَطَرَّقُ إلَيْهِمَا تَخْصِيصٌ :

عُمُومٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى الْمُرْسَلِ إلَيْهِمْ.

وَعُمُومٌ بِالنِّسْبَةِ إلَى كُلِّ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مَنْ بُعِثَ إلَيْهِ فِي أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ.

فَرِسَالَتُهُ كَافِيَةٌ شَافِيَةٌ عَامَّةٌ، لا تُحْوِجُ إلَى سِوَاهَا، وَلا يَتِمُّ الْإِيمَانُ بِهِ إلاَّ بِإِثْبَاتِ عُمُومِ رِسَالَتِهِ فِي هَذَا وَهَذَا.

فَلا يَخْرُجُ أَحَدٌ مِنْ الْمُكَلَّفِينَ عَنْ رِسَالَتِهِ، وَلا يَخْرُجُ نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ الْحَقِّ الَّذِي تَحْتَاجُ إلَيْهِ الأُمَّةُ فِي عُلُومِهَا وَأَعْمَالِهَا عَمَّا جَاءَ بِهِ.

وَقَدْ تُوُفِّيَ رَسُولُ الله r وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي السَّمَاءِ إلاَّ ذَكَرَ للأُمَّةِ مِنْهُ عِلْمًا.

وَعَلَّمَهُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى آدَابَ التَّخَلِّي وَآدَابَ الْجِمَاعِ وَالنَّوْمِ وَالْقِيَامِ وَالْقُعُودِ، وَالأَكْلِ وَالشُّرْبِ، وَالرُّكُوبِ وَالنُّزُولِ، وَالسَّفَرِ وَالإِقَامَةِ، وَالصَّمْتِ وَالْكَلاَمِ، وَالْعُزْلَةِ وَالْخُلْطَةِ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرِ، وَالصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ، وَجَمِيعِ أَحْكَامِ الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ، وَوَصَفَ لَهُمْ الْعَرْشَ وَالْكُرْسِيَّ وَالْمَلائِكَةَ وَالْجِنَّ، وَالنَّارَ وَالْجَنَّةَ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَا فِيهِ حَتَّى كَأَنَّهُ رَأْيُ عَيْن.

وَعَرَّفَهُمْ مَعْبُودَهُمْ وَإِلَهَهُمْ أَتَمَّ تَعْرِيفٍ حَتَّى كَأَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ وَيُشَاهِدُونَهُ بِأَوْصَافِ كَمَالِهِ وَنُعُوتِ جَلالِهِ.

وَعَرَّفَهُمْ الأَنْبِيَاءَ وَأُمَمَهُمْ وَمَا جَرَى لَهُمْ ، وَمَا جَرَى عَلَيْهِمْ مَعَهُمْ حَتَّى كَأَنَّهُمْ كَانُوا بَيْنَهُمْ.

وَعَرَّفَهُمْ مِنْ طُرُقِ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ دَقِيقَهَا وَجَلِيلَهَا مَا لَمْ يُعَرِّفْهُ نَبِيٌّ لأُمَّتِهِ قَبْلَهُ.

وَعَرَّفَهُمْ r مِنْ أَحْوَالِ الْمَوْتِ وَمَا يَكُونُ بَعْدَهُ فِي الْبَرْزَخِ وَمَا يَحْصُلُ فِيهِ مِنْ النَّعِيمِ وَالْعَذَابِ لِلرُّوحِ وَالْبَدَنِ مَا لَمْ يُعَرِّفْ بِهِ نَبِيٌّ غَيْرُهُ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أَدِلَّةِ التَّوْحِيدِ وَالنُّبُوَّةِ وَالْمَعَادِ وَالرَّدِّ عَلَى جَمِيعِ فِرَقِ أَهْلِ الْكُفْرِ وَالضَّلاَلِ مَا لَيْسَ لِمَنْ عَرَفَهُ حَاجَةٌ مِنْ بَعْدِهِ ، اللَّهُمَّ إلاَّ إلَى مَنْ يُبَلِّغُهُ إيَّاهُ وَيُبَيِّنُهُ وَيُوَضِّحُ مِنْهُ مَا خَفِيَ عَلَيْهِ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ مَكَايِدِ الْحُرُوبِ وَلِقَاءِ الْعَدُوِّ وَطُرُقِ النَّصْرِ وَالظَّفْرِ مَا لَوْ عَلِمُوهُ وَعَقَلُوهُ وَرَعَوْهُ حَقَّ رِعَايَتِهِ لَمْ يَقُمْ لَهُمْ عَدُوٌّ أَبَدًا.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ مَكَايِدِ إبْلِيسَ وَطُرُقِهِ الَّتِي يَأْتِيهِمْ مِنْهَا وَمَا يَتَحَرَّزُونَ بِهِ مِنْ كَيْدِهِ وَمَكْرِهِ وَمَا يَدْفَعُونَ بِهِ شَرَّهُ مَا لاَ مَزِيدَ عَلَيْهِ.

وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أَحْوَالِ نُفُوسِهِمْ وَأَوْصَافِهَا وَدَسَائِسِهَا وَكَمَائِنِهَا مَا لاَ حَاجَةَ لَهُمْ مَعَهُ إلَى سِوَاهُ، وَكَذَلِكَ عَرَّفَهُمْ r مِنْ أُمُورِ مَعَايِشِهِمْ مَا لَوْ عَلِمُوهُ وَعَمِلُوهُ لَاسْتَقَامَتْ لَهُمْ دُنْيَاهُمْ أَعْظَمَ اسْتِقَامَةٍ .

وَبِالْجُمْلَةِ فَجَاءَهُمْ بِخَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ بِرُمَّتِهِ، وَلَمْ يُحْوِجْهُمْ اللهُ إلَى أَحَدٍ سِوَاهُ، فَكَيْفَ يُظَنُّ أَنَّ شَرِيعَتَهُ الْكَامِلَةَ الَّتِي مَا طَرَقَ الْعَالَمَ شَرِيعَةٌ أَكْمَل مِنْهَا نَاقِصَةٌ تَحْتَاجُ إلَى سِيَاسَةٍ خَارِجَةٍ عَنْهَا تُكَمِّلُهَا ، أَوْ إلَى قِيَاسٍ أَوْ حَقِيقَةٍ أَوْ مَعْقُولٍ خَارِجٍ عَنْهَا ؟

وَمَنْ ظَنَّ ذَلِكَ فَهُوَ كَمَنْ ظَنَّ أَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً إلَى رَسُولٍ آخَرَ بَعْدَهُ، وَسَبَبُ هَذَا كُلِّهِ خَفَاءُ مَا جَاءَ بِهِ عَلَى مَنْ ظَنَّ ذَلِكَ وَقِلَّةُ نَصِيبِهِ مِنْ الْفَهْمِ الَّذِي وَفَّقَ اللهُ لَهُ أَصْحَابَ نَبِيِّهِ الَّذِينَ اكْتَفَوْا بِمَا جَاءَ بِهِ، وَاسْتَغْنَوْا بِهِ عَمَّا مَا سِوَاهُ، وَفَتَحُوا بِهِ الْقُلُوبَ وَالْبِلاَدَ، وَقَالُوا : هَذَا عَهْدُ نَبِيِّنَا إلَيْنَا، وَهُوَ عَهْدُنَا إلَيْكُمْ.

“Prinsip ini merupakan di antara prinsip terpenting dan paling bermanfaat, prinsip tersebut ditegakkan di atas satu hal, yaitu umum risalah Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam terkait dengan segala yang dibutuhkan oleh hamba dalam hal pengetahuan, ilmu, dan amalan mereka, dan beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjadikan umatnya masih butuh kepada seorang pun sepeninggal beliau, namun kebutuhan mereka adalah kepada Nabi yang telah menyampaikan risalah kepada mereka.

Maka pada risalah (agama) beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam terdapat dua keumuman yang sama sekali tidak bisa dijadikan khusus :

- Umum dalam kaitannya dengan Nabi yang diutus kepada mereka.

- Umum dalam kaitannya dengan segala yang dibutuhkan oleh umat yang menjadi objek risalah, dalam hal prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.

Jadi risalah (agama) beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam lengkap, mencukupi, dan umum, yang umat sudah tidak perlu lagi kepada selain agama tersebut. Tidak akan sempurna keimanan (seorang hamba) kecuali dengan meyakini tentang keumuman agama beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam kaitannya dengan yang ini (pertama) maupun yang itu (kedua).

Tidak ada seorang mukallaf pun yang (boleh) keluar dari risalah (agama) beliau, juga tidak boleh keluar dari salah satu cabang dari berbagai cabang kebenaran yang sangat dibutuhkan oleh umat dalam berbagai ilmu dan amalan mereka.

Ketika Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah wafat, maka tidak ada satu burung pun yang mengepakkan sayap di langit, kecuali beliau telah menyebutkan untuk umat beliau ilmu tentangnya.

Bahkan beliau telah mengajari umatnya segala sesuatu, sampai permasalahan adab buang hajat, berjima’, tidur, berdiri, duduk, makan dan minum, berkendaraan dan berjalan, bepergian dan mukim, sikap diam dan berbicara, ber‘uzlah (menyendiri) dan bergaul (dengan manusia), ketika kaya dan ketika miskin, ketika sehat dan ketika sakit, serta seluruh hukum-hukum terkait dengan kehidupan dan kematian. Beliau juga menjelaskan sifat-sifat al-’arsy, al-kursi, para malaikat, para jin, neraka dan al-jannah serta Hari Kiamat sampai seakan-akan hari tersebut terlihat dengan mata.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajari umatnya tentang ma’bud dan ilah (Dzat yang diibadahi) dengan penjelasan yang sempurna sehingga seakan-akan mereka melihat dan menyaksikan-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kemuliaan-Nya.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajari umatnya tentang para nabi dan umat mereka serta berbagai peristiwa yang dialami oleh para nabi, dan berbagai musibah yang menimpa para nabi tersebut bersama umatnya, sampai-sampai seakan-akan mereka berada di tengah-tengah para nabi dan umatnya tersebut.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajari umatnya tentang berbagai kondisi kematian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya di alam barzakh, serta yang akan didapati padanya berupa kenikmatan atau adzab terhadap ruh dan badan, dengan penjelasan yang belum pernah disampaikan oleh seorang nabi pun selain beliau.

Demikian juga, Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengajari umatnya berbagai dalil dan bukti tentang (kebenaran) tauhid, kenabian, dan Hari Pembalasan, serta bantahan terhadap seluruh kelompok orang-orang kafir dan sesat, dengan penjelasan yang jika seorang telah memahaminya maka dia tidak butuh lagi pada seorang pun, kecuali kepada orang yang bisa menyampaikan kepadanya, menjelaskan, dan menjabarkan kepadanya hal-hal yang tersembunyi atasnya.

Demikian juga, Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada umatnya berbagai tipu daya peperangan dan berhadapan dengan lawan, serta cara-cara mendapatkan pertolongan dan kemenangan, dengan penjelasan yang kalau seandainya umat ini mengetahui, memahami, dan memperhatikannya dengan penuh keseriusan, maka mereka tidak akan ditindas oleh musuh selamanya.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan kepada umatnya berbagai makar Iblis dan cara-caranya yang menimpa mereka dari cara-cara tersebut, sekaligus (mengajarkan kepada umatnya) segala hal yang bisa menjaga dari berbagai tipu daya dan makar Iblis dan segalah yang bisa menolak kejelekannya, dengan penjelasan yang (cukup) tidak perlu ditambah lagi.

Demikian juga Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada umatnya kondisi jiwa-jiwa mereka, sifat-sifatnya … dengan penjelasan yang umat sudah tidak perlu lagi pada selainnya. Demikian juga Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada mereka tentang permasalahan penghidupan mereka, yang kalau mereka mengetahui dan mengamalkannya niscaya tegaklah dunia mereka dengan sangat kokoh.

Kesimpulannya, Nabi telah datang kepada umat (dengan membawa) kebaikan dunia dan akhirat dengan sempurna. Allah menjadikan mereka tidak butuh lagi kepada selain (agama beliau). Maka syari’at-Nya yang sempurna yang tidak pernah ada di alam ini syari’at yang lebih sempurna darinya, bagaimana bisa disangka bahwa syari’at-Nya tersebut kurang, masih perlu ada siasat di luar syari’at tersebut agar bisa menyempurnakannya, atau masih butuh pada qiyas atau hakekat atau pemahaman di luar syari’at tersebut?

Barangsiapa yang mengira demikian, maka dia seperti orang yang mengira bahwa umat manusia masih membutuhkan adanya rasul lain sepeninggal Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebab ini semua adalah kurangnya ilmu pada orang yang menyangka dengan persangkaan tersebut dan sedikit pemahamannya. Allah telah memberikan taufiq pemahaman tersebut kepada para pengikut Nabi-Nya, orang-orang yang merasa cukup dengan agama yang dibawa oleh Nabi tersebut serta tidak butuh pada selainnya. Sehingga dengannya mereka bisa membuka hati-hati manusia dan membuka berbagai negeri. Mereka mengatakan : ini merupakan wasiat nabi kami terhadap kami, maka ini pulalah wasiat kami terhadap kalian.”

- sekian Ibnul Qayyim rahimahullah wa ghafara lahu -

C Adapun jihad, maka kita tidak mengingkari jihad. Namun jihad tersebut harus merupakan jihad yang syar’i. Semua pihak mengklaim jihad, namun apakah itu sudah merupakan jihad yang syar’i?? Inilah pertanyaan yang hakiki.

كل يدعي وصلا بليلى … وليلى لا تقر لهم بذاكا

Semua pihak mengaku punya hubungan dengan Laila

Padahal Laila tidak mengakui yang demikian itu

Jihad Syar’i memiliki hukum-hukum, ketentuan-ketentuan, serta rukun-rukun. Mayoritas syarat-syarat tersebut -kalau aku tidak mengatakan semua- pada masa ini belum terpenuhi.

(Di antara syaratnya ) : Al-Qudratu ‘alal Muwajahah (Kemampuan untuk menghadapi musuh). Apakah kita sudah mempersiapkan persiapan iman yang syari’i? yang bisa tegak untuk kita Al-Jihad … Hari ini tidak ada kemampuan pada sebagian besar umat dan sebagian besar negeri (muslimin) untuk melawan kekuatan musuh. Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sebatas apa yang ada padanya.

Oleh karena itu para ‘ulama telah berfatwa dan menjelaskan, di antaranya Al-Imam Ibnul Qayyim dan lainnya dalam masalah (bolehnya) perdamaian dengan kaum Yahudi. Mereka (para ‘ulama tersebut) berdalil dengan perdamaian (yang dilakukan oleh) Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dengan Yahudi Madinah, yang berarti menunjukkan bolehnya berdamai dengan Yahudi. Dalam masalah ada perinciannya, apakah perdamaian yang bersifat abadi atau perdamaian yang sementara/dibatasi waktunya. Ada beberapa pendapat di kalangan para ‘ulama. Namun yang dipilih oleh sejumlah besar ‘ulama adalah perdamaian dengan Yahudi hukumnya boleh, baik terbatas waktunya maupun selamanya. Inilah perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Maka kita mempertimbangkan antara bolehnya berdamai dengan kemampuan. Oleh karena itu Samahatul Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menfatwakan bolehnya melakukan perdamaian dengan Yahudi, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin yang telah tertumpahkan pada waktu itu.

Demikian juga persiapan jihad yang berupa fisik maupun maknawi.

Kewajiban adanya kemampuan tersebut harus ditimbang dengan qaidah syar’iyyah yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama, yaitu qaidah global utama yang telah ditetapkan oleh para ‘ulama, serta telah dijelaskan oleh mereka dengan penjelasan yang gamblang dan terang. Di antaranya oleh Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan murid utamanya Ibnul Qayyim serta Al-Hafizh Al-’Allamah Asy-Syathibi rahimahullah dan lainnya. Qaidah tersebut adalah :

لا واجب مع عجز ولا محرم مع ضرورة

Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu), dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Harrani rahimahullah berkata [15]) :

ومن الأصول الكلية أن المعجوز عنه فى الشرع ساقط الوجوب، وأن المضطر إليه بلا معصية غير محظور، فلم يوجب الله ما يعجز عنه العبد، ولم يحرم ما يضطر إليه العبد

“Di antara prinsip-prinsip yang menyeluruh adalah bahwa seorang yang lemah (dari suatu kewajiban) maka dia gugur kewajibannya, dan bahwa seorang yang terdesak/terpaksa/darurat namun bukan dalam kemaksiatan, maka dia tidak dilarang. Allah tidak mewajibkan atas hamba sesuatu yang dia tidak mampu, dan tidak mengharamkan sesuatu yang seorang hamba terpaksa/terdesak/darurat (melakukannya).”

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam karya besarnya I’lamul Muwaqqi’in [16]) :

ومن قواعد الشرع الكلية أنه لا واجب مع عجز ولا حرام مع ضرورة

“Termasuk kaidah syari’at yang bersifat menyeluruh adalah bahwa tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu) dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.”

Beliau berkata juga dalam permasalahan lain pada tempat lain dari kitab I’lamul Muwaqqi’in[17]) :

ولا واجب في الشريعة مع عجز ولا حرام مع ضرورة

“Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu) dan tidak ada keharaman dalam kondisi darurat.”

Qaidah : “ Tidak ada kewajiban dalam kondisi lemah (tidak mampu)”, dipetik dari qaidah ini bahwa seluruh kewajiban, syarat, dan rukun terkait dengan kondisi sanggup dan mampu melaksanakannya. Adapun jika dalam kondisi lemah dan tidak ada kemampuan, maka (kewajiban, syarat, dan rukun tersebut) gugur dari seorang mukallaf, baik dengan cara digantikan dengan yang lain atau gugur secara mutlak. Karena syarat pembebanan (suatu kewajiban) adalah adanya kemampuan, yaitu kemampuan sang mukallaf untuk melaksanakannya. Maka apabila sang mukallaf tidak memiliki kemampuan, maka tidak sah pembebanan kewajiban atasnya secara syar’i.

Kaidah ini memiliki asal yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at. Di antaranya :

Firman Allah Ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]

Bertaqwalah kalian semaksimal kemampuan kalian [At-Taghabun : 16]

Juga firman Allah :

وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا [الطلاق/7]

Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. [Ath-Thalaq : 7]

Allah memerintahkan untuk memberi nafkah sebatas kesanggupan dan kemampuannya.

Allah Jalla wa ‘Azz juga berfirman :

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [الأنعام/152]

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. [Al-An’am : 152]

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata [18]) :

فأمر بالعدل المقدور وعفا عن غير المقدور

“Allah memerintahkan melakukan keadilan yang sanggup untuk dilakukan, dan Allah memaafkan keadilan yang tidak sanggup dilakukan.”

Di antaranya juga sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim :

« دَعُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ »

“Biarkanlah (jangan bertanya) permasalahan-permasalahan yang aku biarkan [19]) Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Maka apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah, dan apabila aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah perintah tersebut semaksimal kemampuan kalian.” [20])

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah ketika menjelaskan hadits yang agung ini, yaitu yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu, beliau menyebutkan bahwa para ‘ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini :

أنَّ النَّهيَّ أشدُّ من الأمر؛ لأنَّ النَّهيَّ لم يُرَخَّصْ في ارتكاب شيء منه، والأمر قُيِّدَ بحسب الاستطاعة، ورُوي هذا عن الإمام أحمد .

“Larangan itu lebih kuat daripada perintah. Karena larang tidak diberi keringanan untuk seseorang melakukannya sedikitpun. Adapun perintah maka diberi batasan sesuai dengan tingkat kemampuan. Kesimpulan ini diriwayatkan pula dari Al-Imam Ahmad.” [21])

Kemudian beliau menjelaskan juga sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam : ” dan apabila aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah perintah tersebut semaksimal kemampuan kalian.”

دليلٌ على أنَّ من عَجَزَ عن فعل المأمور به كلِّه، وقدرَ على بعضه، فإنَّه يأتي بما أمكنه منه.

“Hadits ini merupakan dalil bahwa barang siapa yang lemah/tidak sanggup melakukan semua perintah Rabb-nya, sementara dia hanya sanggup/mampu melaksanakan sebagiannya saja, maka dia melaksanakan (kewajiban) yang memungkinkan/mampu dia laksanakan saja.” [22])

Kemudian beliau menyebutkan beberapa misal.

Demikianlah Allah telah menjelaskan kepada kita, dan menjadikannya syari’at yang suci dan bersih. Demikian juga para ‘ulama telah menjelaskan dan memaparkan kaidah umum ini dengan perinciaan yang sangat detail. Di antaranya Al-Hafizh Asy-Syathibi rahimahullah -sebagaiamana telah aku katakan- dalam karya besarnya Al-Muwafaqat. Maka kita harus memahami makna dan permasalahan ini.

Bahkan meskipun dalam jihad difa’ (defensif), tetap berupaya membela sesuai dengan batas kemampuan, selama memungkinkan untuk melakukannya. Oleh karena itu Al-’Allamah Al-Fauzan mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang hanyalah tindakan nekad tanpa perhitungan. Mereka beraksi dan berhasil membunuh satu orang namun akibatnya terbunuhlah ribuan. Hendaklah sekarang kalian berpikir, berapa sudah jumlah yang terbunuh dalam peperangan yang penuh kezhaliman dan kecerobohan ini, yang sudah mencapai di atas 1.300 orang lebih, selain sekitar 6.000 korban luka, dan lain-lain. Sementara jumlah yang terbunuh dari pihak Yahudi umat yang dimurkai itu -sebatas yang diberitakan oleh mereka dan yang diberitakan oleh pihak lainnya - hanya sekitar 13 orang saja, 10 orang dari kalangan militer dan 3 orang selain militer. Kalau pun jumlah yang terbunuh 20 atau 30 orang. Maka lihatlah hasil ini, apakah seimbang antara ini dan itu?

Oleh karena itu, kesimpulannya adalah wajib menimbang segala sesuatu dengan timbangan syari’at bukan dengan timbangan perasaan.

Semoga sampai di sini sudah mencukupi. Kita memohon kepada Allah agar memberikan barakah pada ilmu yang kita ucapkan dan kita dengar kemudian memberikan taufiq pada kita kepada segala yang Dia cintai dan Dia ridhai.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

[1] HR. Al-Bukhari no. 5158, 6018, 6019, 6136, 6138, 6475. Muslim no. 47, 48.

[2] HR. Ahmad (III/198), Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shamt no. 9, Al-Khara`ithi dalam Al-Makarim no. 442; dari shahabat Anas bin Malik. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah no. 2841.

[3] HR. Al-Bukhari no. 6477, Muslim 2988.

[4] HR. Al-Bukhari no. 6478.

[5] Ar-Risalah At-Tabukiyyah hal. 34

[6] Hal. 34-35.

[7] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4789. Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam - syarh hadits no. 15.

[8] Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam - syarh hadits no. 15.

[9] Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu secara marfu’. Namun sanadnya dha’if (lemah), sebagaimana didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 2424. yang benar bahwa perkataan itu merupakan ucapan Luqman Al-Hakim yang dinukilkan oleh shahabat Anas bin Malik.

[10] Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.

[11] HR. At-Tirmidzi no. 2032. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).

[12] Dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 578. adapula dengan lafazh :

« وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ »

“Adapun (ketika) sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka lebih terjamin terkabulnya (do’a) untuk kalian.” HR. Muslim 479, Abu Dawud 876, Ahmad I/219, Ibnu Khuzaimah 529, 578. dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallah ‘anhu.

[13] Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya dengan lafazh disebutkan bahwa : Maka beliau langsung duduk dengan wajah memerah seraya bersabda : … .

[14] HR. Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).

[15] Majmu’ul Fatawa XX/559

[16] I’lamul Muwaqqi’in II/41

[17] I’lamul Muwaqqi’in III/20

[18] I’lamul Muwaqqi’in I/321

[19] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari : “Selama aku biarkan (hukum permasalahan tersebut) dengan tidak ada perintah atau pun larangan sedikitpun.”

[20] HR. Al-Bukhari 7288, Muslim 1337. ini adalah lafazh Al-Bukhari.

[21] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam syarh hadits no.9

[22] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam syarh hadits no.9

Tidak ada komentar: