Jumat, 28 Desember 2012

Menuju Rumah Tangga Sakinah, Mawaddah, Warohmah

Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari’atkan.
Al-Qur’an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)

Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.

Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata “Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.

Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:

Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, “Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat:

  • Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).
  • Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak).
  • Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda).
  • Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-’Uyûn)

Ibn Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapatkan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya” (Tafsir Ibn Katsir)

Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak firman-Nya, “dari jenismu sendiri.” Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).
Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.

Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu ‘lembaga’ yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”
Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34.

Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.

Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlakukannya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah.” 

Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun se [ptelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah.... :) Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.
Sumber: Tsulâtsiyyah al-Hayâh az-Zawjiyyah: as-Sakan, al-Mawaddah, ar-Rahmah karya Dr.Zaid bin Muhammad ar-Rummany. (Abu Hafshah)

Kamis, 27 Desember 2012

Hukum Tunangan dan Meminang Wanita yang Sedang Tunangan

Tunangan adalah bentuk saling berjanji untuk menikah di masa depan, sehingga ini termasuk jenis khitbah (melamar untuk menikah) yang sudah diterima oleh pihak wanita. Hal ini hukumnya boleh. Tetapi, tidak boleh melakukan tunangan atau khitbah kepada seorang wanita yang berada di dalam masa ‘iddah, sebagaimana firman Allâh Ta'âla: Janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka (wanita yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. (QS. al-Baqarah/2:235)

Karena tunangan termasuk khitbah yang sudah diterima, maka tidak boleh seorang pria meminang seorang wanita yang telah bertunangan dengan orang lain untuk dinikahi. Karena hal ini dilarang oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam.
وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
Janganlah seorang laki-laki meminang/melamar (seorang wanita) yang telah dipinang oleh saudaranya, sampai peminang sebelumnya itu meninggalkan atau mengidzinkan untuknya.
(HR. al-Bukhari, no. 4848, 4849 dan Muslim, no. 1408)

Imam Nawawi rahimahullâh berkata, “Hadits-hadits ini jelas dalam mengharamkan lamaran atas lamaran saudaranya. Mereka (Ulama) sepakat tentang keharamannya jika pelamar pertama itu sudah diterima, dan dia tidak mengizinkan (untuk orang lain) dan tidak meninggalkan”.

Oleh karena itu, jalan yang selamat adalah segera menikah jika memang sudah mampu, jika belum mampu hendaklah mengendalikan syahwat dengan berpuasa dan menghindari semua sarana yang akan membangkitkan syahwatnya. Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء
Wahai jama'ah pemuda,barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah dia menikah.  Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat.
(HR. al-Bukhari, no: 5065; Muslim, no: 1400)
Wallahu a’lam.

Senin, 19 November 2012

Arti Cinta kepada Allâh Ta'âla bagi Seorang Mukmin

Imam al-Bukhâri rahimahullâh dan Imam Muslim rahimahullâh meriwayatkan hadits dalam kitab shahîh mereka dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu 'anhu, beliau radhiyallâhu 'anhu mengatakan :





بَيْنَمَا أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ خَارِجَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ فَلَقِيَنَا رَجُلٌ عِنْدَ سُدَّةِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا فَكَأَنَّ الرَّجُلَ اسْتَكَانَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا كَبِيرَ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ وَلَا صَدَقَةٍ وَلَكِنِّي أُحِبُّ اللَّهَ 
وَرَسُولَهُ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Ketika aku keluar dari masjid bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, kami dijumpai oleh seorang lelaki di dekat pintu masjid. Orang itu bertanya,”Wahai Rasûlullâh, kapan kiamat tiba?” Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam balik bertanya kepada orang itu : “Apa yang telah kau persiapkan untuk (menyambut)nya?” Anas mengatakan: “Seakan-akan lelaki tersebut tertunduk diam,” kemudian lelaki itu berkata,”Aku tidak menyiapkan (maksudnya, aku belum membekali diri dengan, Red.) shalat, puasa, ataupun shadaqah sunat yang banyak, akan tetapi aku cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya.” Mendengar ini Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda : “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”.[1]

Mendengar sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam, para Sahabat sontak bergembira, sampai-sampai Anas radhiyallâhu 'anhu mengatakan, “Setelah memeluk dien Islam, kami tidak pernah merasakan kebahagiaan yang lebih hebat dibandingkan dengan kebahagiaan karena mendengar sabda Rasûlullâh “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”.

Mengapa mereka begitu bahagia? Karena mereka sudah diberitahu, bahwa dengan kecintaan yang benar kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya, seseorang dapat mencapai derajat yang jarang bisa diraih dengan amal. Karena amal terkadang ternodai oleh hal-hal yang merusaknya dan mengurangi nilainya. Namun, jika di dalam hati seseorang selalu ada cinta yang ikhlas kepada Allâh dan Rasul-Nya, maka kekurangan-kekurangan itu bisa tertutupi.

Namun ini bukan berarti bahwa cinta itu terpisah dari amal atau orang yang mencintai tidak perlu taat kepada yang dicintai, sama sekali tidak! Pengakuan cinta yang terlontar dari mulut, tanpa amal nyata, hanyalah sebuah kebohongan; Sebagaimana amalan yang tidak dilandasi raca cinta hanya akan menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat, ibarat badan tanpa ruh. Jadi amal merupakan konsekuensi cinta dan bisa dijadikan tolok ukur kejujuran sebuah pengakuan.

Kecintaan yang benar (kepada Allâh Ta'âla ) memiliki rasa manis dan lezat yang tidak mungkin dirasakan oleh orang-orang yang mengaku mencintai-Nya (tanpa bukti). Dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga sifat, barangsiapa memiliki tiga sifat ini, maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman, yaitu) : menjadikan Allâh dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya; Mencintai orang lain semata-mata karena Allâh dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam api.[2]

Jika rasa cinta kepada Allâh Ta'âla sudah ada dalam kalbu kita, maka kewajiban kita selanjutnya adalah menjaga rasa itu dan kita berharap diwafatkan dalam keadaan kita mencintai dan dicintai oleh Allâh Ta'âla. 

Namun ini bukan hal mudah, banyak tantangan yang harus dilewati, terlebih di zaman seperti zaman sekarang ini. Fitnah begitu banyak tersebar ditambah lagi setan yang tidak pernah surut menggoda dan menjebak manusia. Hanya kepada Allâh Ta'âla kita memohon agar Allâh Ta'âla menganugerahkan kepada kita rasa cinta kepada-Nya dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang dicintai oleh Allâh Ta'âla.

Kita memohon kepada-Nya agar senantiasa membantu kita dalam menjalankan apa yang menjadi konsekuensi keimanan dan kecintaan kita kepada Allâh Ta'âla.

رَبَّنَا أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

"Ya Rabb kami, tolonglah kami untuk (selalu) berzikir, bersyukur dan beribadah dengan sebenarnya kepada-Mu".[3]
[1] HR Imam al-Bukhâri, no. 6171; Fathul Bâri (10/573). Juga diriwayatkan Imam Muslim, no. 2639, dan lafazh hadits di atas merupakan lafazh milik Imam Muslim.
[2] HR al-Bukhâri (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[3] HR Abu Dâwud (no. 1522) dan an-Nasa-i (no. 1303), dinyatakan shahîh Syaikh al-Albâni.  

Senin, 16 Januari 2012

Al-Qur'an Sebagai Mas Kawin

Mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istrinya dengan sebab pernikahan. Mahar itu bisa berbentuk harta benda atau jasa.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. an-Nisâ’/4:4)
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
(Qs. an-Nisâ’/4:4)

Mahar termasuk syarat sah pernikahan. Adapun dalil mahar berupa harta benda atau jasa, disebutkan hadits berikut ini:
hadits
hadits
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallâhu'anhu, dia berkata:
“Seorang wanita mendatangi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
lalu menyatakan bahwa dia menyerahkan dirinya
untuk Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
“Aku (sekarang ini) tidak membutuhkan istri”.
Maka seorang laki-laki berkata: “Nikahkan aku dengannya”.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
”Berikan sebuah baju kepadanya!”
Dia menjawab: “Aku tidak punya”.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Berikan sesuatu kepadanya, walaupun cincin dari besi!”
Dia beralasan kepada beliau bahwa dia tidak punya.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Apa yang engkau hapal dari al-Qur’an?”.
Laki-laki itu menjawab: “Surat ini, surat ini’.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Kami telah menikahkanmu dengan wanita itu
dengan al-Qur’ân yang ada padamu”
.

(HR. Bukhâri, no. 5029)

Di dalam hadits ini Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan laki-laki tersebut agar memberikan sesuatu barang kepada wanita yang akan dinikahi itu, baik berupa baju, cincin, atau apa saja. Dengan demikian, mahar berupa mush-haf al-Qur’ân juga dibolehkan. Barangsiapa melarangnya, maka dia harus mendatangkan dalil.
Di dalam satu riwayat Muslim disebutkan:
hadits
“Pergilah, aku telah menikahkanmu dengan wanita itu, ajarilah dia sebagian dari al-Qur’ân”.
(HR. Muslim, no. 1425)

Hadits ini juga menunjukkan bolehnya mahar yang berupa jasa, yaitu mengajarkan al-Qur’ân.
Di dalam kitab suci al-Qur’ân, Allâh Ta'ala mengisahkan mahar Nabi Musa 'alaihissalam adalah menggembalakan kambing selama 8 atau 10 tahun.
Kesimpulannya, mush-haf al-Qur’ân boleh digunakan sebagai mahar.
Wallâhu a’lam.