Kamis, 16 Desember 2010

Cadar, Celana Ngatung dan Janggut bukan Ciri-ciri Teroris

Ketahuilah wahai kaum Muslimin, menggunakan cadar bagi wanita muslimah, mengangkat celana jangan sampai menutupi mata kaki dan membiarkan janggut tumbuh bagi seorang laki-laki Muslim adalah kewajiban agama dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti bukti-buktinya insya Allah dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta penjelasan para Ulama ummat.

Benar bahwa sebagian Teroris juga mengamalkan kewajiban-kewajiban di atas, namun apakah setiap yang mengamalkannya dituduh Teroris?! Kalau begitu bersiaplah menjadi bangsa yang teramat dangkal pemahamannya… Maka inilah keterangan ringkas yang insya Allah dapat meluruskan kesalah pahaman.

Pertama: Dasar kewajiban menggunakan cadar bagi Muslimah

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As-Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah).
Istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia: ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha berikut:
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).

Kedua: Dasar kewajiban mengangkat celana, jangan sampai menutupi mata kaki bagi laki-laki Muslim

Banyak sekali dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki), diantaranya sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori, no. 5787).
Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).

Ketiga: Dasar kewajiban membiarkan janggut tumbuh bagi laki-laki Muslim

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim no. 624).
Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim no. 625).
Dan masih banyak hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk membiarkan janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal.

Demikianlah penjelasan ringkas dari kami, semoga setelah mengetahui ini kita lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi orang-orang yang mengamalkan sejumlah kewajiban di atas. Tentu sangat tidak bijaksana apabila kita mengeneralisir setiap orang yang nampak kesungguhannya dalam menjalankan agama sebagai teroris atau bagian dari jaringan teroris, bahkan minimal ada dua resiko berbahaya apabila seorang mencela dan membenci satu kewajiban agama atau membenci orang-orang yang mengamalkannya (disebabkan karena amalan tersebut):
Pertama: Berbuat zhalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah. Dan barangsiapa yang memusuhi wali Allah dia akan mendapatkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (Yunus: 62-63)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti akan Aku beri. Dan kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku lindungi.’.” (HR. Bukhari, lihat hadits Arba’in ke-38).
Faidah: Para Ulama menjelasakan bahwa makna, “Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah” adalah hidayah dari Allah Ta’ala kepada wali-Nya, sehingga ia tidak mendengar kecuali yang diridhai Allah, tidak melihat kepada apa yang diharamkan Allah dan tidak menggunakan kaki dan tangannya kecuali untuk melakukan kebaikan.
Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan membenci satu bagian dari syari’at Allah Jalla wa ‘Ala, baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada pembatal keislaman yang kelima:
“Barangsiapa membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkannya, maka dia telah kafir.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9)
Maka berhati-hatilah wahai kaum Muslimin.
Dan kepada Ikhwan dan Akhwat yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban di atas hendaklah bersabar dan tetap tsabat (kokoh) di atas sunnah, karena memang demikianlah konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya.
Dan wajib bagi kalian untuk senantiasa menuntut ilmu agama dan menjelaskan kepada ummat dengan hikmah dan lemah lembut, serta hujjah yang kuat agar terbuka hati mereka insya Allah, untuk menerima kebenaran ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan pemahaman Teroris. Wallohul Musta’an.

Selasa, 16 November 2010

Bukti Kebesaran Alloh - proof of the greatness of Allah

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” [QS. Al- Fushshilat]

Foto Kebesaran Allah SWT

Sesungguhnya segala yang ada di langit dan di bumi ini adalah tanda-tanda kekuasaan Alloh, tiadalah redaksi menampilkan foto-foto dibawah kecuali hanya untuk menambah kesadaran kita betapa Maha Besar Alloh terhadap ciptaan-Nya dan tiadalah segala apapun di dunia ini kecuali sangat kecil dan tiadalah daya ataupun kekuatan segala ciptaan-Nya itu dihadapan-Nya baik ia benda hidup ataupun benda mati, sebenarnya senantiasa berdzikir, taat, dan tunduk terhadap Sunnatulloh. Koleksi ini dikumpulkan sedikit demi sedikit dari internet. Jika anda merasa dapat memberikan tambahan keterangan pada koleksi di bawah ini, silahkan beri komentar anda !. Mohon bersabar apabila agak lambat, karena fotonya ditampilkan semuanya.. :)


batu yang sujud

Batu karang yang sedang sujud.

Pohon Kaktus

Pohon Kaktus yang tumbuh membentuk Lafal Allah.

Buah Labu
Buah Labu

Tulisan Allah di Bumi Africa

Lafaz Allah tertulis dengan Jelas di Tanah Africa, di lihat dari satelit.

Lafaz Allah di Buah Melon
Lafaz Allah di Buah Melon

Lafaz Allah di Lautan
Lafaz Allah di Lautan , di lihat dari Satelit

Lafaz Allah di Tangan kita
Lafaz Allah di Tangan kita

Masjid Nabawi dan Madinah
dua Tempat suci umat islam, di lihat dari atas satelit, berkilau.
MEKKAH BERKILAU
MEKKAH BERKILAU –
Ini adalah hasil pencitraan dari IKONOS Satelite milik Space Imaging Inc, AS. Masjidil Haram yang ‘diintai’ oleh AS pada 31 Oktober 1999 itu menampilkan fenomena menakjubkan. Terlihat di gambar hanya bagian Masjidil Haram saja yang berkilau sementara bangunan di sekitarnya tampak lebih gelap. Subhanallah. (NASA Astronomy Picture of The Day) (sumber : http://www.spaceimaging.com/gallery/ioweek/archive/01-12-09/index.htm)

Lafal Allah di langit Ciputat

Lafal Allah di Langit Ciputat.
(Foto : Andie wibianto)


Tulisan Allah di Buah Terong
Tulisan Allah di buah Terong

 ledakan di pipa gas milik Pertamina di lokasi lumpur Lapindo
Yang terbaru adalah jilatan api saat terjadi ledakan di pipa gas milik Pertamina di lokasi lumpur Lapindo, jalan Tol Porong-Gempol KM 38 22 November 2006 lalu.
Api yang membubung setinggi hampir 1 kilometer itu ternyata sempat membentuk lafal Allah dalam tulisan Arab beberapa saat. (Foto: Samuel Johnson)

SEBATANG pohon  DENGAN BERBENTUK HURUFJAWI ALIF, LAM, LAM, HA
SEBATANG POHON SENDUDUK DENGAN BERBENTUK HURUFJAWI ALIF, LAM, LAM, HA ATAU EJAAN ‘ALLAH’ .”Allah Hu Akhbar.”
Terima kasih buat Ahmadi dari malaysia yang sudah mengirimkan photo ini.

 Hasil foto satelit memperlihatkan riak-riak gelombang Tsunami di Sri Lanka mirip tulisan kaligrafi
Hasil foto satelit memperlihatkan riak-riak gelombang Tsunami di Sri Lanka mirip tulisan kaligrafi “Allah”. (Foto: Globalsecurity. Org)

 Masjid di Meulaboh, Aceh, yang berkubah warna gelap ini tampak tetap berdiri. Sejumlah bangunan di sisi-sisinya tampak tidak tersisa tersapu tsunami. (Foto: Setpres/Dudi Anung)
Masjid di Meulaboh, Aceh, yang berkubah warna gelap ini tampak tetap berdiri.
Sejumlah bangunan di sisi-sisinya tampak tidak tersisa tersapu tsunami. (Foto: Setpres/Dudi Anung)

 Bangunan untuk bersujud kepada-Nya di salah satu sudut kota Meulaboh
Bangunan untuk bersujud kepada-Nya di salah satu sudut kota Meulaboh ini tampak tetap berdiri kokoh.
Bangunan di sekitarnya roboh tersapu gelombang tsunami, kecuali pohon kelapa. (Foto: Indra Shalihin)

 Masjid berkubah putih di sudut lain kota Meulaboh juga tampak tetap berbentuk. Sekitarnya, tampak porak-poranda. (Foto: Setpres/Dudi Anung)
Masjid berkubah putih di sudut lain kota Meulaboh juga tampak tetap berbentuk.
Sekitarnya, tampak porak-poranda. (Foto: Setpres/Dudi Anung)

LEBAH YANG MENULIS

Lebah yang Membentuk Allah

LEBAH YANG MENULIS “ALLAHU”
(Those who are familiar with Arabic will easily be able to identify what this beehive spells - “Allahu”)

lafal
Akan terlihat dengan jelas lafal “Allah” pada batu permata tersebut bila disinari dengan cahaya

Selain itu (sungguh ngeri) ketika langit pecah belah lalu menjadilah ia mawar merah, berkilat seperti minyak
Mawar Merah di Angkasa
“Selain itu (sungguh ngeri) ketika langit pecah belah lalu menjadilah ia mawar merah, berkilat seperti minyak”
(Ar-Rahman: 37)

Gambar di atas adalah gambar ledakan bintang di angkasa yang diperoleh NASA dengan Teleskop yang sangat canggih. Kejadian tersebut membuktikan kebenaran Al-Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu pada surah Ar-Rahman di atas.

POHON YANG SEDANG RUKU

POHON YANG SEDANG RUKU
POHON YANG SEDANG RUKU
Ini adalah fenomena baru yang ditemukan di hutan dekat Sidney. Seperti yang anda lihat, bagian bawah batang tertekuk sedemikian rupa sehingga menyerupai seseorang dalam posisi ibadah Islam - 'ruku' itu. Melihat lebih dekat Anda dapat melihat 'tangan' yang bertumpu pada lutut. Yang paling menakjubkan adalah bahwa 'manusia' secara langsung menghadap Ka'bah, Mekah yang merupakan arah umat Islam di seluruh wajah dunia ketika dalam ibadah.

Tomat yang membentuk Lafaz Allah

Buah Tomat

Sesungguhnya ALLAH Maha berkuasa dan dapat menjadikan apa saja yang pernah ataupun tidak pernah terfikir oleh manusia.Ini merupakan keajaiban alam ciptaan ALLAH.

THE FISH TESTIFIES THE PROPHET (S.A.W)
THE FISH TESTIFIES THE PROPHET (S.A.W)
Cerita dimulai ketika Mr Ikan Goerge Wehbe, seorang Kristen Libanon, untuk mempraktekkan hobinya memancing, di Dakar, Senegal (ibukota Afrika Barat). Dia menangkap banyak ikan. Ketika kembali kepada istrinya melihat diantara ikan aneh sekitar 50 cm panjang, dengan beberapa tulisan Arab di atasnya. Dia mengambil ke Sheikh al-Zein, yang membaca dengan jelas apa yang tertulis dalam cara alami. Yang tidak bisa dilakukan oleh seorang manusia, melainkan ciptaan ilahi yang ikan lahir dengan. Dia membaca "Hamba Allah" di perut dan "Muhammad" dekat kepalanya dan "Rasul-Nya" di ekornya

LAA ILAA HA ILLALLAH

Pohon yang berbentuk La Ilah Ha Ilalah.
LAA ILAA HA ILLALLAH WRITEN IN BRANCHES
Seorang saudara di Jerman menulis dan mengirim foto ini. "Cabang-cabang jelas mengatakan dalam bahasa Arab bahwa" tidak ada Tuhan selain Allah Dikatakan bahwa adegan pada sepotong lahan pertanian di Jerman Banyak yang mengatakan. Mereka telah masuk Islam setelah melihat pemandangan ajaib ini dan bahwa Pemerintah menempatkan pagar baja Jerman di pertanian untuk mencegah orang dari mengunjungi dan menyaksikan situs ini ajaib "

Lapadz
Lapadz “Allah” yang terbentuk di telinga seorang bayi

Awan yang membentuk Lapadz

Awan yang membentuk Lapadz “Allah”, kejadian ini diabadikan oleh seseorang di Mekkah

Mesjid Tetap Berdiri meski terjadi gempa
MOSQUE STILL STANDS AFTER EARTQUAKE IN TURKEY
Sebuah masjid masih berdiri di tengah-tengah puing-puing bangunan runtuh dalam pandangan Calatrava udara di kota Turki barat Golcuk, 60 mil sebelah timur dari Istanbul, 19 Agustus 1999. Jumlah korban tewas dari gempa terburuk yang tercatat Turki barat telah melampaui 6.000, sebagai harapan untuk menemukan ribuan masih hilang di pegunungan reruntuhan.

menunjukkan kalimah

menunjukkan kalimah
Menurut pemiliknya kalau dilihat dari dekat Gambar di atas
menunjukkan kalimah “Lailahaillah” terbentuk pada seekor ikan

More :

Siapa yang bisa mengatakan sapi ini berevolusi sehingga dia dapat menggambar peta pada tubuhnya???


Sabtu, 13 November 2010

Dahsyatnya Sakaratul Maut

Penulis: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar hamba-hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezaliman bersegera untuk meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.

Namun, berbagai peringatan dan pelajaran baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
“Tidaklah berita itu seperti orang yang melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Lihat Ash-Shahihah no. 135)

Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan, dengan sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali hamba-hamba-Nya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya:
فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ. وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ. وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ. فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ. تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)


Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan’, hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya. ‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang dia rasakan karena sakaratul maut itu. ‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka’ (para malaikat). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, kenapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ. وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ. وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ. وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ. إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, dia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi ‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ
“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (Lihat Ash-Shahihah no. 132)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
فَلَا أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ لِأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 4446)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama rahimahumullah mengatakan bahwa apabila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul r, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ. أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ
“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)

Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:
1. Agar makhluk mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan dia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, dia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal dia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut –padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya– hal itu akan memupus anggapan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi –selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad–, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut1.

2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ
“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”
Maka jawabannya adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.”2
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)
Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri tugas untuk mencabut arwah hamba-hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga tidak ada di dalam Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu’.” (As-Sajdah: 11)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullahu berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ. ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللهِ مَوْلَاهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)

Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)

Footnote :
1. Beliau mengisyaratkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ
“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi)
2. Lihat Ash-Shahihah no. 143.
(Dikutip dari http://asysyariah.com/print.php?id_online=807)

Kamis, 21 Oktober 2010

KIAT MENGATASI TERORISME DI TENGAH KAUM MUSLIMIN

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Ada beberapa cara yang secara teoritis dapat ditempuh oleh kaum Muslimin dan pihak-pihak berkepentingan untuk mengatasi dan memutuskan berlangsungnya kegiatan teror. Namun, secara praktis memerlukan kesungguhan dan keikhlasan kerja dari berbagai pihak. Motivasi yang mendorong kerja keras ini, yang paling pokok adalah keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, dengan maksud mencari ridha serta pahala-Nya. Sehingga yang diutamakan adalah kemaslahatan dan kepentingan umum, bukan kemaslahatan dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, akan tercipta upaya penanggulangan bersama, dalam lingkup ta'âwun 'alal al-Birri wat-Taqwa (tolong menolong serta kerjasama berdasarkan kebaikan dan ketakwaan), bukan atas dasar berebut kepentingan duniawi yang memicu persaingan tidak sehat dan saling mencurigai.

Akar radikalisme yang memicu tindakan kekerasan dan terorisme sebenarnya sudah muncul semenjak zaman Sahabat masih hidup. Terutama mulai mencuat pada zaman pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu. Oleh sebab itu, beberapa kiat yang akan dipaparkan di bawah ini di dasarkan pada langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh para Sahabat dan para Ulama salaf dalam mengatasi berkembangnya akar radikalisme pada waktu itu.

Sebelum menyimpulkan kiat-kiat dimaksud, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu beberapa riwayat shahîh yang akan dijadikan landasan dalam megambil kesimpulan.

Riwayat-riwayat itu antara lain:

A. Dialog Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu dengan orang-orang khawarij. Beliau bercerita, “Ketika orang-orang Haruriyah [1] melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu, mereka mengisolir diri di sebuah camp. Jumlah mereka pada waktu itu sekitar 6000 orang. Mereka bersepakat untuk melakukan pemberontakan kepada Ali bin Abi Thâlib. Dan sudah seringkali orang datang kepada Ali Radhiyallahu 'anhu dan mengingatkannya seraya berkata, "Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya orang-orang Harûriyah itu akan memberontak kepada engkau". Setiap kali itu pula Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Biarkan mereka. Saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka memerangi saya. Dan mereka pasti akan melakukannya!"

Pada suatu hari, sebelum shalat Zhuhur, aku datang menemui Ali Radhiyallahu 'anhu. Aku berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu'minin, tundalah shalat Zhuhur sampai waktu tidak terlalu panas, karena aku ingin berbicara sebentar dengan orang-orang Harûriyah itu.

Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, “Aku mengkhawatirkan engkau.”
Aku menjawab, “Jangan khawatir!” Aku dikenal (di masyarakat) sebagai orang yang memiliki akhlak baik, aku tidak pernah menyakiti siapapun.

Akhirnya Ali Radhiyallahu 'anhu mengizinkan aku untuk pergi mendatangi mereka. Lalu kukenakan pakaian paling indah yang berasal dari Yaman dan ku sisir rambutku. Selanjutnya aku datangi mereka di suatu perkampungan pada tengah hari saat mereka sedang bersantap siang. Ternyata, aku dapati bahwa mereka itu adalah sekelompok orang yang aku lihat, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun yang yang lebih bersemangat dalam beribadah selain mereka. Dahi-dahi mereka hitam menebal karena banyak bersujud. Telapak-telapak tangan mereka seolah-olah seperti lutut onta (karena sering digunakan untuk menopang tubuh saat bersujud). Mereka mengenakan pakaian yang sudah usang, sedangkan wajah-wajah mereka pucat (karena banyak shalat malam).

Aku ucapkan salam kepada mereka. Tetapi jawaban mereka adalah, "Selamat datang wahai Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu ! Mewah sekali pakaian yang engkau kenakan!"

Aku menjawab, "Mengapa kalian mencela aku? Padahal aku pernah melihat Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakain dari Yaman yang jauh lebih indah daripada yang aku kenakan ini. Kemudian aku bacakan sebuah ayat al-Qur'ân kepada mereka:

"Katakanlah,"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik"? [Ali Imrân/7:32]

Mereka lalu bertanya kepadaku, “Ada perlu apa engkau datang kemari?”

Aku menjawab, “Aku datang sebagai utusan para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu para Muhajirin dan Anshar. Juga sebagai utusan dari anak paman Nabi dan sekaligus menantu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang kepada merekalah al-Qur'ân turun langsung, sehingga mereka pasti lebih memahami tafsir al-Qur'ân dibanding kalian. Sementara itu, tidak ada seorang Sahabat Nabi-pun yang berada di tengah-tengah kalian. Sekarang aku siap (menjadi jembatan) untuk menyampaikan kepada kalian apa yang mereka katakan, dan siap menyampaikan kepada mereka apa yang kalian katakan.

Tiba-tiba sebagian mereka berkata kepada kawan-kawannya, “Kalian jangan melayani pertengkaran dengan orang Quraisy, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

"Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar". [az-Zukhruf/43:58]

Tetapi, kemudian ada seorang yang datang menuju kepadaku. Orang ini berkata (kepada mereka), “Ada dua atau tiga orang yang akan berbicara kepadanya (maksudnya Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu)

Maka aku berkata, “Silakan! Apa (sebab) penolakan kalian kepada para Sahabat Nabi n dan kepada anak paman beliau?”
Mereka menjawab, “Ada tiga hal.”
Aku berkata, “Apa saja ketiga hal itu?”
Mereka berkata, “Pertama, karena sesungguhnya Ali Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan (agama) Allah Azza wa Jalla. Padahal Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

"Tidak lain hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah". [al-An'âm/6:57, juga Yûsuf/12:40 dan 67]

Aku berkata, “Ini yang pertama.”

Mereka melanjutkan, “Adapun yang kedua, karena Ali Radhiyallahu 'anhu telah memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, begitu juga Mu'âwiyah Radhiyallahu 'anhu), tetapi ia tidak melakukan penawanan perang dan tidak mengambil ghanîmah. Jika yang diperangi Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang-orang kafir, berarti tawanannya adalah halal. Tetapi kalau yang diperangi Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang-orang Mukmin, berarti tidak halal mengadakan tawanan perang dan tidak halal pula memerangi mereka.

Aku berkata, “Ini yang nomor dua, lalu apa yang ketiga?”

Mereka berkata, “Ia telah menghapus kedudukan Amirul Mukminin dari dirinya. Dengan demikian, kalau ia bukan Amirul Mukminin, berarti ia adalah Amirul Kafirin (amirnya orang-orang kafir).

Aku berkata, “Apakah masih ada sesuatu yang lain selain yang tiga itu?”
Mereka menjawab, “Cukup itu saja.”

Selanjutnya, akupun berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, jika aku bacakan ayat-ayat dari Kitabullâh (al-Qur'ân) dan Sunnah Nabi-Nya yang dapat membatalkan perkatakaan kalian, apakah kalian mau rujuk (kembali kepada kebenaran)?

Mereka menjawab, “Ya.”

Aku berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan agama Allah Azza wa Jalla, maka akan aku bacakan kepada kalian ayat al-Qur'ân yang menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia dalam masalah yang nilainya hanya seperempat dirham. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan manusia untuk menetapkan hukum dalam hal ini.

Bukankah kalian membaca firman Allah Azza wa Jalla :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu". [al-Mâ'idah/5:95]

Dalam ayat ini, ketetapan hukum Allah Azza wa Jalla ialah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia agar memutuskan hukum tentang pembunuhan terhadap hewan buruan yang dilakukan oleh orang yang sedang berihrâm. Padahal, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, Dia akan menghukuminya sendiri. Jadi, diperbolehkan putusan hukum manusia.

Demi Allah Azza wa Jalla, aku minta kalian bersumpah; apakah putusan hukum yang dibuat manusia dengan tujuan mendamaikan hubungan kaum Muslimin dan mencegah tertumpahnya darah mereka itu lebih baik ataukah urusan darah kelinci (yang lebih baik)?

Mereka menjawab, “Tentu ini lebih baik.”

Aku melanjutkan, Begitu juga tentang seorang perempuan dengan suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (pemutus hukum) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (pemutus hukum) dari keluarga perempuan". [an-Nisa'/4:35]

Aku minta kalian bersumpah, apakah ketetapan hukum manusia dalam rangka perdamaian hubungan sesama kaum Muslimin dan dalam rangka pencegahan bagi tertumpahnya darah mereka, itu lebih baik ataukah ketetapan hukum manusia tentang kemaluan seorang perempuan?

Sudahkah jawabanku menjadikan kalian puas?
Mereka menjawab, “Ya.”

Selanjutnya aku berkata, “Adapun perkataan kalian (yang kedua) bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma), tetapi tidak melakukan penawanan dan tidak mengambil ghanîmah. Maka (aku katakan,) “Apakah kalian akan menawan ibu kalian; Aisyah Radhiyallahu 'anha ?, Apakah kalian akan menghalalkannya sebagaimana kalian menghalalkan wanita lain sedangkan beliau adalah ibu kalian? Jika kalian menjawab bahwa kami menghalalkannya sebagaimana kami menghalalkan wanita lain yang menjadi tawanan, berarti kalian telah kafir. Sebaliknya jika kalian mengatakan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'anha bukan ibu kami, kalianpun telah menjadi kafir. Sebab Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka". [al-Ahzab/ 33:6]

Dengan demikian, kalian berada pada salah satu di antara dua kesesatan, silahkan coba cari jalan keluarnya.

Jadi apakah jawaban dapat memuaskan kalian?
Mereka menjawab, “Ya.”

Aku melanjutkan, “Adapun (perkataan kalian yang ketiga) bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu telah menghapuskan kedudukan sebagai Amirul Mukminin dari dirinya; maka akan aku datangkan jawaban yang memuaskan bagi kalian. Yaitu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membuat perjanjian damai di Hudaibiyah dengan orang-orang kafir Mekah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu 'anhu, "Hapuslah wahai Ali (kata Rasul Allah Azza wa Jalla ). Allâhumma, sesungguhnya engkau mengetahui (wahai Ali Radhiyallahu 'anhu ) bahwa aku adalah Rasul Allah Azza wa Jalla. Tulislah kata-kata, “Ini adalah perjanjian damai yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullâh'."[2]

(Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu selanjutnya berkata:) Demi Allah, sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti lebih baik dari Ali Radhiyallahu 'anhu, ternyata beliau telah menghapus kata 'Rasul Allah' dari dirinya, dan ternyata hal itu tidak berarti bahwa beliau menghapus kenabian dari dirinya.
Sudahkah aku dapat keluar (dari perkataan kalian) hingga menjadikan kalian puas?

Mereka menjawab, “Ya.”

Akhirnya, ada dua ribu orang di antara mereka yang rujuk (kembali kepada kebenaran), sedangkan sisanya tetap melakukan pembangkangan dan pemberontakan. Akhirnya, dalam kesesatan mereka, mereka semua dibunuh oleh para Sahabat Muhajirin dan Anshar dalam peperangan".[3]

Dari riwayat ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:

1. Khawârij adalah pencetus lahirnya gerakan radikal kaum Muslimin, yang intinya adalah takfîr (pengkafiran) terhadap umat Islam, khususnya para penguasa.
2. Upaya pembinaan dilakukan dengan cara dialog oleh orang yang ahli dan menguasai dalil.
3. Pelaku pembinaan, di samping harus menguasai dalil dan bermanhaj salaf, juga harus dikenal sebagai orang yang berakhlak mulia, sehingga memperkecil kemungkinan mendapat perlakuan yang berbahaya.
4. Pembinaan dilakukan dengan penuh hikmah. Yang dimaksud penuh hikmah adalah ilmiah berdasarkan kekuatan hujjah dan tidak berbentuk tekanan berupa penghinaan. Sebab, hal itu akan dapat menghambat keterbukaan.
5. Radikalisme dan kegiatan peledakan pada akhir-akhir ini dimotori oleh orang-orang yang memiliki kemampuan mengemukakan dalil-dalil untuk membenarkan tindakannya meskipun salah. Mereka juga menguasai serta menghafalkan dalil-dalil, beberapa kaidah penting dan penafsiran para Ulama terkenal yang mereka fahami menurut kemauan mereka. Sehingga apabila pembinaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak menguasai ajaran Islam dengan benar, maka argumentasinya akan dianggap angin lalu, meskipun untuk sementara waktu mungkin ditanggapi diam. Tetapi sebanarnya sedang menimbun api dalam sekam.
6. Mereka tentu terdiri dari kelompok-kelompok yang berjengjang. Karena itu memerlukan penanganan terpisah menurut bobot masing-masing.
7. Intisari dari kesimpulan ini adalah kembali pada manhaj Sahabat. Sebab al-Qur'ân turun langsung kepada para Sahabat, sehingga merekalah yang paling memahami makna-makna dan maksud-maksud al-Qur'ân dengan bimbingan langsung dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Cara inilah yang ditempuh oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, dan beliau adalah seorang Sahabat.

B. Riwayat yang kedua adalah tentang kasus Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr.

Seorang tabi'in yang berdomisili di Kufah Irak, negeri yang waktu itu banyak didominasi oleh berbagai aliran menyimpang, di antaranya orang-orang khawârij. Semula, ia termakan oleh pemikiran sesat khawarij, dan bahkan menjadi tokoh. Namun, akhirnya Yazîd terselamatkan dari kesesatan pemikirannya setelah bertemu dengan seorang Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengkonsultasikan pemahamannya tentang al-Qur'ân kepada Sahabat Nabi tersebut.

Riwayat ini terdapat dalam Kitab Shahîh Muslim. Kisahnya adalah sebagai berikut:[4]

Yazid al-Faqîr berkata, “Aku sangat tergiur dengan pemikiran khawârij. Suatu ketika kami keluar bersama sekelompok orang (khawârij) dalam jumlah besar untuk pergi haji, kemudian kami melakukan penentangan kepada umat (dengan kekuatan bersenjata). Kami melewati kota Madinah dan ternyata ada Jâbir bin `Abdillâh z yang duduk sambil bersandar pada salah satu tiang masjid, sedang membawakan hadits-hadits Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selanjutkan Yazîd mengatakan, “Tiba-tiba Jâbir bin `Abdillâh (seorang Sahabat Nabi) menyebut-nyebut tentang Jahannamiyun (orang-orang yang dibakar di dalam neraka Jahanam, namun kemudian dimasukkan ke dalam surga). Aku bertanya kepadanya, "Wahai Sahabat Nabi! Apa yang sedang engkau ceritakan ini?! Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman :

"Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau pasti hinakan ia (maksudnya pasti kekal dalam neraka)". [Ali Imrân/3:192]

Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

"Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya". [as-Sajdah/32:20].

Jadi, apa maksud ucapanmu ini?!"
Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân, seorang Ulama Yordania, sampai pada penggalan hadits di atas memberikan penjalasan berikut [5]: "Tabi'in (Yazid al-Faqîr) ini berhujjah berdasarkan ayat-ayat al-Qur'ân yang difahami menurut pemikirannya. Ia telah didoktrin dengan ayat-ayat semacam ini bahwa ayat-ayat itu menegaskan pengertian-pengertian yang difahami secara terpisah tanpa melihat hubungannya dengan nash-nash lainnya. Maka, Sahabat Nabi yang mulia, Jâbir bin `Abdillâh Radhiyallahu 'anhu mengingatkan akan kesalahan manhaji (kesalahan dalam metodologi pemahaman) yang dilakukan Yazîd ini." Karena itulah, Jâbir bin `Abdillâh berkata kepada Yazîd al-Faqîr:

"Apakah engkau membaca al-Qur'ân?" Aku (Yazîd) menjawab, "Ya". Jâbir Radhiyallahu 'anhu berkata lagi, "Apakah engkau pernah mendengar tentang kedudukan terpuji Nabi (al-Maqam al-Mahmûd) yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla ?"

Aku menjawab: "Ya".

Jabir berkata, "Itulah kedudukan terpuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang karena kedudukan itu Allah Azza wa Jalla mengeluarkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari neraka.

Selanjutnya Yazîd menceritakan, “Kemudian Jâbir Radhiyallahu 'anhu menjelaskan sifat pemasangan jembatan shirâth di atas Jahanam dan menceritakan pula sifat lewatnya manusia pada jembatan shirâth ini. Yazîd melajutkan, “Dan masih banyak lagi yang diceritakan Jâbir Radhiyallahu 'anhu, yang mungkin sebagian aku lupa. Tetapi yang jelas Jâbir z menyatakan tentang kepastiannya bahwa ada sekelompok orang yang akan keluar dari neraka sesudah mereka di azab di dalamnya…dst.”

Setelah Jâbir Radhiyallahu 'anhu memaparkan hadits itu kepada Yazîd, akhirnya Allah memberikan hidayah petunjuk kepadanya berupa pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat yang dikemukakannya di atas. Yazîd mengatakan, "Kami kembali (ke Kufah), dan kamipun berkata kepada sesama orang yang bersama kami, 'Aduhai betapa celaka kalian! apa mungkin Syaikh (Jâbir) berdusta atas nama Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ?' Akhirnya, kamipun rujuk (dari pendapat yang salah). Demi Allah Azza wa Jalla, setelah itu, tidak ada seorang pun dari kami yang keluar untuk melakukan pemberontakan kecuali hanya satu orang saja."

Dari riwayat yang kedua dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Melalui keyakinan terhadap kebenaran Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, akhirnya Allah Azza wa Jalla membukakan pintu hati Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr, sehingga dia selamat dari pemahaman sesat yang hampir menjerumaskannya ke dalam tindakan pemberontakan. Keyakinan semacam ini, bagi para Ulama Rabbani, merupakan salah satu syarat bagi seseorang yang ingin mendapat manfaat dari bimbingan para Ulama, sehingga langkahnya menjadi benar, dalam kondisi apapun pada umumnya, maupun dalam kondisi kacau pada khususnya [6].
2. Pembinaan untuk menyadarkan kaum radikal akan sangat bermanfaat bila menggunakan hujjah-hujjah yang dikemukakan para Ulama berdasarkan hujjah para Sahabat. Sehingga syubhat (keracuan faham) yang menyelimuti pemikiran mereka akan tersingkirkan. Itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki pemahaman serta langkah-langkah mereka [7].
3. Dialog-dialog pembinaan harus dilakukan oleh orang-orang yang manhajnya lurus dan menguasai dalil.
4. Kisah ini membuktikan perlunya semua Muslim memahami nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Secara keseluruhan, melalui dua riwayat di atas dapat disimpulkan langkah-langkah berikut:

1. Mengembalikan umat Islam pada pemahaman Islam yang benar sebagaimana pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Pembinaan yang benar kepada umat Islam terutama generasi mudanya. Pembinaan ini harus melibatkan para tokoh yang betul-betul memahami Islam, dalil-dalil serta istidlâl (penggunaan dan penerapan dalil)nya.
3. Bimbingan serta penyuluhan dari pihak-pihak berkepentingan berdasarkan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi yang kuat yang bisa diterima sebagai kebenaran oleh semua kalangan meskipun tidak sependapat.
4. Tidak semua orang diperkenankan ikut bersuara dan berbicara, apalagi tanpa dalil. Sebab, hal ini tidak menyelesaikan masalah, justru menambah ketidakpercayaan banyak kalangan umat Islam. Dan ini berarti menimbun api dalam sekam. Apalagi sindiran-sindiran keras melalui forum-forum resmi yang tidak berdasarkan dalil.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)". [an-Nisâ'/4:83]

5. Memutuskan mata rantai tumbuh kembangnya pembinaan radikal ala takfîri. Tokoh-tokohnya dipisahkan secara bijaksana dengan para obyek binaan. Masing-masing ditangani secara terpisah dalam wadah pembinaan tersendiri, sesuai dengan bobot masing-masing.
6. Menjelaskan perbedaan makna antara jihad syar'i dengan jihad-jihad lain yang revolusioner dan tidak syar'i. Wallâhu A'lam, wa 'alaihi at-Tuklân.

Marâji':
1. Fathul Bâri, Jâmi'atul Imam, Riyâdh, KSA.
2. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
3. Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin 'Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Amman, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M.
4. Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet. II, 1427 H/2006 M
5. Al-'Irâq Fî Ahâdîts wa Atsar al-Fitan, Syaikh Abu Ubaidah Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Orang-orang Harûriyah adalah orang-orang khawârij. Dinamakan harûriyah karena mereka awalnya mengkonsentrasikan diri di daerah Harûra', sebuah desa yang terletak kurang lebih dua mil dari Kûfah.
[2]. Kisah yang senada dengan ini banyak diriwayatkan dalam hadits shahîh, di antaranya oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîhnya. Lihat Fathul Bâri 5/303, Kitab Ash-Shulhi , no. 2698 dan 2699, dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, lihat Shahîh Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul Ma'rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M, 12/348-349, dari hadits al-Barrâ' bin 'Azib, no. 4605 dan 3/351, dari Anas, no. 4608.
[3]. Riwayat ini dinukil dari Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin 'Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Ammân, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M, hlm. 101-104, no. 3 di bawah sub judul: Ihtijâj ash-Shahâbah dst. Riwayat senada banyak dikemukakan oleh para Imam. Di antaranya terdapat dalam kitab Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet. II, 1427 H/2006 M, 2/494-496, no. 2703, Kitab Qitâl Ahli al-Baghiy, Bab Munâzharah Ibnu Abbâs Ma'al-Harûriyyah. Imam Hâkim mengatakan, “Riwayat ini shahîh sesuai dengan syarat dua orang Syaikh; Imam al-Bukhâri dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits ini. Syaikh Sâlim al-Hilâliy juga mengatakan, “Atsar ini shahîh.
[4]. HR. Muslim, Lihat Syarh Shahîh Muslim, an-Nawawi, 3/50 no. 472
[5]. Lihat Abu Ubaidah, Syaikh Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, al-'Irâq Fî Ahadits wa Atsarul-Fitan, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M. 1/110-111.
[6]. Syaikh Masyhûr, al-'Irâq, Ibid
[7]. Ibid, dengan bahasa bebas.

Selasa, 05 Oktober 2010

Makna Terorisme dalam Pandangan Islam

Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Fatwa-Fatwa, 20 November 2006, 00:58:38

Fatwa Syeikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly

Dalam kitabnya yang berjudul Al-Irhab Wa Atsaruhu ‘Alal Afradi Wal Umam (Terorisme dan dampaknya terhadap individu dan umat), beliau menulis pembahasan yang sangat mengagumkan dalam menguraikan makna dan hukum terorisme. Berikut ini adalah perkataan beliau :

“Manusia dalam penggunaan kata Irhab berada pada dua kutub dan satu (yang lainnya-pen.) berada di pertengahan :

Kutub Pertama : Musuh-musuh Islam dan para Muqollid-nya (pengekornya) yang memperluas penggunaan kata irhab. Maka mulailah mereka mendengung-dengungkannya dengan berlebihan dan menggunakannya untuk setiap orang yang iltizam (berpegang teguh) pada agama Islam dari para ulama rabbany (pendidik), da’i-da’i yang memperbaiki (umat) yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebagaimana mereka juga menggunakannya untuk selain mereka (di atas) dari orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai da’i-da’i Islam akan tetapi berjalan di atas jalan-jalan kebodohan dalam mengajak manusia untuk Iltizam dengan agama Islam dan hukum-hukum syari’atnya -menurut persangkaannya-. Penggunaan umum ini kepada mereka (ulama-ulama rabbany-pen.) dan mereka (da’i-da’i sesat-pen.) tentunya tidak ditetapkan (baca : tidak diterima) oleh syari’at dan akal sehat, bahkan tidak diragukan bahwa itu adalah bentuk irhab dari mereka dengan mengatasnamakan memerangi terorisme dan menghinakan pelakunya dengan maksud untuk menjelekkan nama Islam yang agung, merendahkan derajat pemeluknya dan meremukkan hak-hak mereka sehingga para musuh (Islam) dengan slogan-slogan yang penuh tipu daya tersebut mengantarkan mereka ke target menghalangi manusia untuk masuk Islam yang tidak ada kehidupan yang baik bagi manusia di seluruh alam ini kecuali di bawah naungannya. Karena Islam adalah agama yang benar, penutup, penghapus dan pengganti dari seluruh agama yang diturunkan dari langit. Allah tidak menerima suatu agamapun dari siapapun selainnya, tidak (pula diterima) dari orang Arab, ‘Ajam (selain Arab), tidak pula Yahudi, Nashara dan tidak pula dari pemeluk agama apapun selain agama Islam yang hanif ini, dengan dalil firman Allah Ta’ala :

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلاَمُ ( آل عمران : 19 )

“Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam”. (QS. Ali ‘Imran : 19).

Dan firman-Nya subhanahu :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ( آل عمران : 85 )

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran : 85).

Dan sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنُ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari ummat (manusia) ini yang mendengar tentang saya (diutus), baik Yahudi maupun Nashara kemudian dia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti menjadi penduduk Neraka”. (HSR. Muslim no.153).

Dan sabdanya :

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مُوْسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِيْ

“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya (Nabi) Musa hidup, niscaya tidak ada keluasan (pilihan-ed.) baginya kecuali harus mengikutiku”. (HR. Ahmad : 3/387).

Kemudian beliau berkata : “Kutub kedua : Mereka yang ekstrim dalam menafikan (baca : meniadakan) segala bentuk irhab dan para pelakunya dengan penafian secara umum dimana mereka menganggap bahwa kalimat irhab itu hanyalah tenunan (baca : rekayasa) orang-orang Yahudi dan Nashara dan para muqollid-nya dari orang-orang sekuler dan para pengekor syahwat menurut batas ungkapan mereka.

Orang-orang yang ekstrim di dalam penafian Al-Irhab ini, mereka adalah yang tertimpa oleh musibah At-Tanzhimat (aturan-aturan) rahasia dan kelompok-kelompok Hizbiyah untuk menentang segenap pemerintah di seluruh alam Islami, sesudah mereka menganggap bahwa mereka (para pemerintah di bangsa Islam-pen.) adalah orang-orang yang sudah kafir atau fasiq lagi berbuat zhalim, karena mereka berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan oleh Allah. Kemudian mereka bergerak dengan strategi (rencana-rencana) untuk menggulingkan pemerintah dengan menggunakan berbagai cara yang ngawur (Jawa-pen.) seperti Al-Ightiyal (pembunuhan secara rahasia) terhadap para pemerintah (penguasa) dan pejabat-pejabat pemerintahannya, peledakan di tempat-tempat umum maupun khusus sebagai bentuk penyembuhan (luka hati), balas dendam dan makar hizbiyah menurut sangkaan mereka. Dan aksi-aksi ini menyebabkan tersebarnya ketidakstabilan di dalam masyarakat, terjadinya goncangan keamanan disebabkan apa yang mereka susupkan ke tengah masyarakat dari bentuk irhab secara nyata maupun pemikiran, dan terjadilah kegoncangan pada zaman ini yang diketahui oleh kawan maupun lawan disebabkan karena kelakuan-kelakuan yang kosong dari Al-Bashirah (ilmu dan amal yang benar) dan (kosong dari) sandaran terhadap manhaj dakwah kepada Allah di atas petunjuk Nabi yang mulia.

Kemudian beliau berkata : “Dan pendapat yang pertengahan yang nampak dari nash-nash syari’at dan kaidah-kaidah ahli fiqih dari para ulama salaf yang dengan jujur mencari petunjuk dari Allah, sehingga ditunjuki oleh Allah jalan yang lurus dan mendapatkan anugerah ilmu yang bermanfaat yang membuahkan amalan sholeh di setiap zaman dan tempat dan setiap waktu dan keadaan. (Pendapat itu) adalah irhab dengan dua bentuknya (yaitu irhab nyata dan pemikiran-pen.) adalah perkara yang terjadi dan nyata dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang memiliki penyesatan dan penipuan terhadap manusia untuk menutupi tanzhimat (aturan-aturan) jama’ah dan kelompok-kelompok hizbiyyah mereka. Dan (irhab) ada dua jenis :

(Pertama) Jenis yang disyari’atkan. Disyari’atkan menurut nash Al-Kitab dan As-Sunnah yaitu irhab terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafiqin. Adapun orang-orang kafir dengan mempersiapkan kekuatan perang untuk meng-irhab mereka dengan senjata dan meng-irhab mereka dengan ancaman yang keras sebagaimana dalam nash-nash Al-Kitab dan Sunnah. (Allah) Ta’ala berfirman :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ... الآية.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian meng-irhab musuh Allah dan musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya”. (QS.Al-Anfal : 60).

Dan persiapan tersebut berasal dari negara-negara Islam yang Allah telah memuliakannya dengan diberikannya seorang wali (pemimpin) yang berhukum dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dan telah mengangkat bendera jihad dengan seluruh makna yang terkandung dalam kalimat jihad itu ketika telah terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya. Bukan dengan cara yang ngawur yang akan menghancurkan dan tidak membangun, merusak dan tidak memperbaiki.

Adapun orang-orang munafiq, maka irhab terhadap mereka adalah dengan hujjah dan dalil sehingga tercabut hati-hati mereka hingga tenggorokan mereka, karena mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?

Dan demikian pula yang datang dari As-Sunnah yang suci tentang cara irhab orang-orang muslim, mu’min dan muhsin kepada orang-orang kafir, munafiq dan orang-orang yang sewenang-wenang (yaitu) dengan pedang, tombak, hujjah dan dalil. Dan sungguh nampak hal tersebut dalam medan peperangan yang penuh keberanian ketika bertemu di dalam medan tersebut dua pasukan ; tentara iman dan tentara besarnya orang kafir dan orang-orang yang melampaui batas sebagaimana dikenal dalam siroh (sejarah hidup) Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin Al-Fatihin (pembuka wilayah-wilayah Islam) dan siapa yang berjalan di atas jalannya mereka dari kalangan orang-orang yang beriman lagi berjihad dan mereka tidak mengadakan perubahan-perubahan/penggantian. Maka ini adalah perkara yang sangat jelas dimana dia tidak memerlukan banyak dalil dan penjelasan.

(Kedua) Dan jenis yang tidak diperbolehkan sama sekali, yaitu yang telah dijelaskan sebelumnya secara terperinci disertai dengan contoh dan bentuk-bentuknya yang beragam di dalam berbagai persoalan. Dan jenis inilah yang berhak untuk dinamakan dengan nama irhab (teroris-pent.) karena di dalamnya ada pemberian/penyebab timbulnya rasa takut dan menakut-nakuti baik secara langsung maupun secara ma’nawi”.

FATWA PARA ULAMA BESAR MENYIKAPI TERORISME

Melihat berbagai peristiwa teror yang terjadi di berbagai negara, apalagi hal tersebut dituduhkan identik dengan syari’at yang mulia nan suci, melihat banyaknya kebingungan di kalangan kaum muslimin akibat syubhat (kerancuan) dan racun yang disusupkan oleh musuh-musuh Islam tentang terorisme dan melihat salah “terjemah” terhadap kalimat terorisme dan salah menempatkannya. Maka kami mengangkat fatwa-fatwa para ulama besar yang merupakan lentera di tengah gulita dan kelompok yang terus-menerus menampakkan kebenaran di setiap zaman sebagaimana dalam hadits yang mutawatir, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.

Tulisan ini juga sebagai penjelasan hakikat syari’at Islam yang mulia dan agung.

Dan tulisan ini juga sebagai bantahan terhadap orang-orang yang penuh dengan nista pemikiran sesat dan bergelimang dengan lumpur penyimpangan yang menodai nama Islam dengan ulah terorismenya.

Dan sebagai bantahan terhadap orang-orang jahil dan bodoh yang menampilkan dirinya sebagai ahli fatwa yang berani mengucapkan statement yang mengidentikkan Islam dengan terorisme.

Dan yang lebih aneh lagi ucapan kotor ini keluar dari orang yang mengaku dirinya Ahlus Sunnah. Simak kalimatnya yang menyanjung pelaku peledakan gedung WTC dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001 : “Serangan berani penuh kepahlawanan dari para pemuda yang kecewa dengan kecongkakan Amerika Serikat” dan simak ucapannya yang lain “Kalau ditanya kepada kami :Bagaimana serangan terhadap Amerika itu, maka kami mengatakan bahwa cara itu tidak benar menurut pandangan syari’at. Kemungkinan besar memang Usamah berada di belakang penyerangan terhadap WTC dan Pentagon. Walaupun cara bunuh diri itu salah, bagi kami sasarannya benar. Kami memberi “applaus” kepada sasaran seperti itu”.

Kami angkat tulisan ini dengan harapan mengembalikan kaum muslimin kepada agama yang lurus dan mengangkat derajat mereka di dunia dan di akhirat. Amin.

Pembagian Orang Kafir dalam Islam

Orang kafir dalam syari’at Islam ada empat macam :

Pertama : Kafir Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka.

Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS. At-Taubah : 29).

Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsil (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”.

Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata :

أَمَرَنَا رَسُوْلُ رَبِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوْا الْجِزْيَةَ

“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”.

Kedua : Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.

Allah Jalla Dzikruhu berfirman :

فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).

Dan Allah berfirman :

إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 4).

dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya :

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِيْ دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah : 12).

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr riwayat Bukhary :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.

Ketiga : Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6).

Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan :

ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. (HSR. Bukhary-Muslim).

Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya".

Dan dalam hadits Ummu Hani` riwayat Bukhary beliau berkata :

يَا رَسُوْلَ اللهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّيْ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فَلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

“Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib-pen.) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda : “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.

Keempat : Kafir Harby, yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir jenis inilah yang disyari’atkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.

Demikianlah pembagian orang kafir oleh para ulama seperti syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy, syeikh Ibnu ‘Utsaimin, ‘Abdullah Al-Bassam dan lain-lainnya. Dan bagi yang menelaah buku-buku fiqih dari berbagai madzhab akan menemukan benarnya pembagian ini. Wallahul Musta’an.

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain, judul asli Makna Terorisme Dalam Syari’at Islam dan Fatwa Para Ulama Besar Menyikapi Terorisme, URL Sumber http://www.an-nashihah.com/isi_berita.php?id=48 dan http://www.an-nashihah.com/isi_berita.php?id=44)