Tunangan adalah bentuk saling berjanji untuk menikah
di masa depan, sehingga ini termasuk jenis khitbah (melamar untuk
menikah) yang sudah diterima oleh pihak wanita. Hal ini hukumnya boleh.
Tetapi, tidak boleh melakukan tunangan atau khitbah kepada seorang
wanita yang berada di dalam masa ‘iddah, sebagaimana firman Allâh
Ta'âla: Janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka (wanita yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. (QS. al-Baqarah/2:235)
Karena tunangan termasuk khitbah yang sudah
diterima, maka tidak boleh seorang pria meminang seorang wanita yang
telah bertunangan dengan orang lain untuk dinikahi. Karena hal ini
dilarang oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam.
وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
Janganlah seorang laki-laki meminang/melamar (seorang wanita) yang telah dipinang oleh saudaranya, sampai peminang sebelumnya itu meninggalkan atau mengidzinkan untuknya.
(HR. al-Bukhari, no. 4848, 4849 dan Muslim, no. 1408)
(HR. al-Bukhari, no. 4848, 4849 dan Muslim, no. 1408)
Imam Nawawi rahimahullâh berkata, “Hadits-hadits ini
jelas dalam mengharamkan lamaran atas lamaran saudaranya. Mereka
(Ulama) sepakat tentang keharamannya jika pelamar pertama itu sudah
diterima, dan dia tidak mengizinkan (untuk orang lain) dan tidak
meninggalkan”.
Oleh karena itu, jalan yang selamat adalah segera
menikah jika memang sudah mampu, jika belum mampu hendaklah
mengendalikan syahwat dengan berpuasa dan menghindari semua sarana yang
akan membangkitkan syahwatnya. Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء
Wahai jama'ah pemuda,barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat.
(HR. al-Bukhari, no: 5065; Muslim, no: 1400)
(HR. al-Bukhari, no: 5065; Muslim, no: 1400)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar