Minggu, 13 Maret 2011

Tasyahud Akhir Dalam Shalat Dua Rakaat, Duduknya Tawarruk Atau Iftirasy?

Duduk tawarruk yaitu duduk dengan meletakkan pinggul dilantai dengan mengeluarkan telapak kaki yang kiri (melalui bawah tulang kering kaki kanan) dan menegakkan telapak kaki yang kanan. Atau biasanya kita duduk seperti ini di rakaat terakhir sebelum salam.

Duduk iftirasy yaitu duduk dengan menduduki telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kakinya yang kanan. Atau biasanya kita duduk seperti ini pada tasyahud awal.

Tasyahud Akhir adalah duduk tasyahud setelah sujud yang kedua pada rakaat terakhir dalam suatu shalat. Artinya, duduk sebelum kita melakukan salam.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Humaid As-Sa’idi yang menyebutkan :

Jika duduk dalam raka’at kedua, beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) duduk dengan menduduki telapak kaki kirinya dan mengakkan telapak kakinya yang kanan, sedang jika duduk dalam raka’at terakhir, beliau mengelaurkan telapak kakinya uyang kiri (melalui bawah tulang kering kaki kanan) dan mengakkan telapak kakinya yang kanan, sementara beliau duduk di tempat duduknya (dilantai)” (HR Bukhari)

Baik, sekarang kita masuk ke dalam pembahasan judulnya. Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang kapan duduk tawarruk, apakah ada dalam tasyahud awal atau hanya ada dalam tasyahud akhir.

  • Menurut Mazhab Imam Malik, duduk tawarruk ada dalam tasyahud awal dan tasyahud akhir.[1] Jadi anda jangan heran atau kaget dan gelisah, jika ada orang yang ketika duduk tasyahud awal pada shalat maghrib tetapi dia malah duduk tawarruk. Ada dua kemungkinan, dia menggunakan mazhab Maliki dalam shalatnya atau memang dia lupa.

  • Menurut Mazhab Imam Abu Hanifah, baik dalam tasyahud awal ataupun dalam tasyahud akhir, cara duduknya adalah duduk iftirasy.[2] Jadi jangan heran dan gelisah, ketika ada orang yang ketika duduk dalam tasyahud akhir pada shalat maghrib tetapi dia malah duduk iftirasy. Ada dua kemungkinan, dia menggunakan mazhab Abu Hanifah dalam shalatnya atau memang dia lupa dan tidak sadar.

  • Menurut pendapat Imam Ahmad, setiap shalat yang didalamnya terdapat 2 tasyahud, cara duduknya dalam tasyahud akhir adalah dengan duduk tawarruk, sedang dalam shalat yang didalamnya tidak terdapat 2 tasyahud maka cara duduknya adalah dengan duduk iftirasy.[3]iftirasy, atau duduk seperti duduk tasyahud awal. Kemungkinannya, dia menggunakan pendapat Imam Ahmad tadi. Jadi jangan heran atau sedih ketika anda melihat orang yang shalat shubuh dua rakaat, tetapi dalam tasyahud akhirnya dia malah duduk iftirasy, atau duduk seperti duduk tasyahud awal. Kemungkinannya, dia menggunakan pendapat Imam Ahmad tadi.

  • Menurut pendapat Imam Syafi’i, bahwa dalam tasyahud yang terjadi sebelum salam (baik dalam shalat yang 2,3, maupun 4 rakaat, atau tasyahud akhir), cara duduknya adalah duduk tawarruk, sedang pada tasyahhud yang lain, cara duduknya adalah dengan duduk iftirasy[4]. Dan inilah yang dipahami kebanyakan umat Muslim di Indonesia yang memang sebagian besar menggunakan mazhab Imam Syafi’i dalam shalatnya.

Imam Nawawi berkata dalam Syarhnya 5/84[5]:

Adapun menurut mazhab Syafi’i, adalah duduk iftirasy dalam tasyahud awal dan duduk tawarruk dalam tasyahud akhir; hal ini didasarkan pada Hadits Abu Humaid As-Sa’idi, dan aku telah mendapatkan Hadits ini dalam Shahih Bukhari yang mana hadits ini dengan jelas menerangkan perbedaan cara duduk dalam kedua tasyahud. Imam Syafi’i berkata: ‘Hadits-hadits yang menjelaskan tentang duduk tawarruk atau duduk iftirasy adalah bersifat mutlaq. Didalamnya tidak dijelaskan secara rinci apakah duduk tawarruk atau duduk iftirasy itu dikerjakan dalam kedua tasyahud atau dalam salah satu dari kedunya. Namun Abu Humaid telah menjelaskan hal ini dan ini diperkuat dengan Hadits yang aku temukan bahwa mereka (para sahabat) menyebutkan tentang dikerjakannya duduk iftirasy dalam tasyahud awal dan duduk tawarruk dalam tasyahud akhir. Demikianlah yang dijelaskan (dalam Hadits Abu Humaid). Karenanya, sudah seharusnya bagi kita utuk mengambil kesimpulan dari dalil yang mujmal ini, Wallahu a’lam’”

Dalam hadits lain disebutkan :

Sehingga jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada pada raka’at yang padanya terdapat salam, cara duduk beliau adalah dengan mengeluarkan telapak kakinya yang kiri dan duduk tawarruk dengan pantat dan paha sebelah kiri. “Mereka (Para shahabat Abu Humaid) berkata: “Engkau benar! Memang demikianlah cara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat.” (HR Abu Dawud, Dishahihkan Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/141).[6]

Bahkan menurut pengungkapan dari Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani dalam buku terjemahan dari bahasa Arab karangan beliau yang berjudul “Tata Cara Shalat Nabi (Shalatul Mukmiin) ” halaman 187 terbitan Irsyad Baitus Salam, bahwa beliau pernah mendengar dari Syaikh Bin Baz –rahimahuLlah- berkata sewaktu mensyarahi Ar-Raudh 2/82: “Sunnahnya, adalah duduk tawarruk dalam tasyahud akhir dengan menegakkan telapak kaki kanan, sedang dalam tasyahud awal adalah duduk dengan cara menduduki telapak kaki kiri dan menegakakn telapak kaki kanan.

Sedangkan kita ketahui bahwa yang dinamakan tasyahud akhir adalah duduk sebelum salam, baik shalatnya itu dua rakaat, tiga rakaat maupun empat rakaat. Demikianlah yang afdhal, yakni duduk iftirasy dalam tasyahud awal dan duduk tawarruk dalam tasyahud akhir, dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan yang demikian.[7]

Setelah melihat perbedaan dikalangan ulama Salaf tentang hal ini, maka tidak selayaknya kita mengatakan saudaranya yang lain yang berbeda cara duduknya pada tasyahud akhir dalam shalat dua rakaat sebagai ahlul bid’ah, perlu diketahui, hal itu amat menyakitkan, amat menyakitkan wahai saudaraku…

Indah sekali jika yang ada dalam benak kita seperti apa yang dikatakan Imam Syafi’i, “Pendapatku benar, tetapi masih mungkin mengandung kesalahan, dan pendapat anda salah tapi masih mungkin mengandung kebenaran”. SubhanaLlah..

(Hanif al-Falimbani, Yogyakarta, 15 Maret 2007, 01.16am)


[1] Lihat catatan kaki Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani dalam buku terjemahan dari kitab bahasa Arab karangan beliau yang berjudul “Shalatul Mu’miin / Tata Cara Shalat Nabi (edisi bahasa Indonesia)” halaman 182-183 terbitan Irsyad Baitus Salam cetakan ke-10. (Baca : Zaadul Ma’ad (oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah-red.) 1/243, Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi 5/84, Nailul Authar (oleh asy-Syaukaniy-red.) 2/54, al-Mughni (Oleh Ibnu Qudamah-red.) 2/225-228.)

[2] Idem.

[3] Idem.

[4] Idem.

[5] Idem.

[6] Ibid, halaman 184.

[7] Ibid, halaman 184-187.

Tidak ada komentar: