Imam al-Bukhâri rahimahullâh dan Imam Muslim
rahimahullâh meriwayatkan hadits dalam kitab shahîh mereka dari Anas bin
Mâlik radhiyallâhu 'anhu, beliau radhiyallâhu 'anhu mengatakan :
بَيْنَمَا أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ خَارِجَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ فَلَقِيَنَا رَجُلٌ عِنْدَ سُدَّةِ
الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا
فَكَأَنَّ الرَّجُلَ اسْتَكَانَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
أَعْدَدْتُ لَهَا كَبِيرَ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ وَلَا صَدَقَةٍ وَلَكِنِّي
أُحِبُّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
Ketika aku keluar dari masjid bersama Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam, kami dijumpai oleh seorang lelaki di
dekat pintu masjid. Orang itu bertanya,”Wahai Rasûlullâh, kapan kiamat
tiba?” Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam balik bertanya kepada
orang itu : “Apa yang telah kau persiapkan untuk (menyambut)nya?” Anas
mengatakan: “Seakan-akan lelaki tersebut tertunduk diam,” kemudian
lelaki itu berkata,”Aku tidak menyiapkan (maksudnya, aku belum membekali
diri dengan, Red.) shalat, puasa, ataupun shadaqah sunat yang banyak,
akan tetapi aku cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya.” Mendengar ini
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda : “Engkau bersama
dengan orang yang engkau cintai”.[1]
Mendengar sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa
sallam, para Sahabat sontak bergembira, sampai-sampai Anas radhiyallâhu
'anhu mengatakan, “Setelah memeluk dien Islam, kami tidak pernah
merasakan kebahagiaan yang lebih hebat dibandingkan dengan kebahagiaan
karena mendengar sabda Rasûlullâh “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”.
Mengapa mereka begitu bahagia? Karena mereka sudah
diberitahu, bahwa dengan kecintaan yang benar kepada Allâh Ta'âla dan
Rasul-Nya, seseorang dapat mencapai derajat yang jarang bisa diraih
dengan amal. Karena amal terkadang ternodai oleh hal-hal yang merusaknya
dan mengurangi nilainya. Namun, jika di dalam hati seseorang selalu ada
cinta yang ikhlas kepada Allâh dan Rasul-Nya, maka
kekurangan-kekurangan itu bisa tertutupi.
Namun ini bukan berarti bahwa cinta itu terpisah
dari amal atau orang yang mencintai tidak perlu taat kepada yang
dicintai, sama sekali tidak! Pengakuan cinta yang terlontar dari mulut,
tanpa amal nyata, hanyalah sebuah kebohongan; Sebagaimana amalan yang
tidak dilandasi raca cinta hanya akan menjadi sesuatu yang tidak
bermanfaat, ibarat badan tanpa ruh. Jadi amal merupakan konsekuensi
cinta dan bisa dijadikan tolok ukur kejujuran sebuah pengakuan.
Kecintaan yang benar (kepada Allâh Ta'âla ) memiliki
rasa manis dan lezat yang tidak mungkin dirasakan oleh orang-orang yang
mengaku mencintai-Nya (tanpa bukti). Dalam hadits shahih riwayat Imam
al-Bukhâri dan Muslim, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda
:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ
أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada tiga sifat, barangsiapa memiliki tiga sifat
ini, maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman, yaitu) :
menjadikan Allâh dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain
keduanya; Mencintai orang lain semata-mata karena Allâh dan merasa
benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh
Allâh sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam api.[2]
Jika rasa cinta kepada Allâh Ta'âla sudah ada dalam
kalbu kita, maka kewajiban kita selanjutnya adalah menjaga rasa itu dan
kita berharap diwafatkan dalam keadaan kita mencintai dan dicintai oleh
Allâh Ta'âla.
Namun ini bukan hal mudah, banyak tantangan yang harus
dilewati, terlebih di zaman seperti zaman sekarang ini. Fitnah begitu
banyak tersebar ditambah lagi setan yang tidak pernah surut menggoda dan
menjebak manusia. Hanya kepada Allâh Ta'âla kita memohon agar Allâh
Ta'âla menganugerahkan kepada kita rasa cinta kepada-Nya dan menjadikan
kita termasuk hamba-hamba yang dicintai oleh Allâh Ta'âla.
Kita memohon kepada-Nya agar senantiasa membantu
kita dalam menjalankan apa yang menjadi konsekuensi keimanan dan
kecintaan kita kepada Allâh Ta'âla.
رَبَّنَا أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
"Ya Rabb kami, tolonglah kami untuk (selalu) berzikir, bersyukur dan beribadah dengan sebenarnya kepada-Mu".[3]