Kamis, 01 Desember 2011

Beratnya Pertanggung-Jawaban Koruptor di Hadapan Allâh Ta'ala

Sebagian orang merasa tidak nyaman bila harus berurusan dengan birokrasi. Sementara ada juga sebagian orang (baca: kaum berduit) yang jelas-jelas salah, namun kelihatan tenang saja meski berurusan dengan aparat penegak hukum. Itulah dua kenyataan yang sering kita dengar. Kesan bahwa uang bisa memuluskan persoalan sulit ditampik. Yang benar divonis salah, yang baik dijadikan tersangka, yang tidak berhak dimenangkan dalam meja peradilan. Semua seakan bisa “diatur” asal ada uang.
Akibat buruk yang ditimbulkan oleh ulah para koruptor sangat merugikan masyarakat. Betapa banyak orang menjerit kecewa lalu mengutuk para pelaku koruptor karena merasa sangat dirugikan. Betapa banyak orang meregang nyawa menunggu kedatangan bantuan, namun bantuan yang ditunggu tak kunjung tiba karena habis digerogoti oleh oknum-oknum petugas yang bermental korup.

Itulah satu di antara sekian penderitaan akibat perilaku buruk para koruptor. Begitu tega hati mereka melihat orang lain bergumul dengan penderitaan. Tidakkah mereka sadari bahwa kenikmatan dunia yang mereka kejar-kejar itu hanyalah kenikmatan semu yang akan mereka tinggalkan ketika ajal mendatangi mereka. Selanjutnya tinggallah beban tanggung-jawab yang masih berada di atas pundaknya. Dia akan ditanya tentang hartanya. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah memberitahukan :
hadist
Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat
sehingga ditanya tentang empat perkara :
Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ?
Tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?
Tentang hartanya, darimana ia mendapatkannya
dan kemanakah ia menafkah kannya ?
Dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan.

(HR at-Tirmidzi dan ad-Dârimi,
dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Sha ul Jâmi’ , no. 7300)

Lebih dari itu, semakin banyak seorang koruptor “menikmati” dan mengkonsumsi hasil korupsinya, itu berarti semakin membuka dan memuluskan jalannya menuju siksa neraka. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
hadist
Sesungguhnya tidak akan masuk surga
daging yang tumbuh dari harta yang haram.
Neraka lebih pantas untuknya.

(HR Ahmad dan ad-Dârimi,
serta dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîhut Targhîb , no. 1728)

Itulah di antara penderitaan panjang yang akan dialami oleh penikmat uang haram.
Mungkin akan ada orang yang menyanggah, ‘Itukan kalau dia mati dalam keadaan belum bertaubat, atau tidak menginfakkan hartanya di jalan Allâh.'
Untuk menjawab ini, mari kita merenungi sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut ini :
hadist
Barangsiapa yang memilki dosa kezhaliman pada saudaranya,
baik berkenaan dengan kehormatan dirinya atau sesuatu yang lain,
maka hendaknya ia berusaha melepaskannya hari ini,
sebelum datangnya hari dimana tidak ada lagi
uang dinar dan uang dirham (yaitu hari Kiamat).
(Jika pada hari Kiamat nanti kezhaliman belum terlepas,)
maka apabila ia memiliki amal shaleh,
amal shalehnya akan diambil (diberikan kepada saudaranya)
sesuai dengan kezhaliman yang dilakukannya,
dan apabila ia tidak memiliki kebaikan,
maka keburukan saudaranya akan diambil dan dipikulkan kepadanya.

(HR. al-Bukhâri. Fat ul Bâri, V/101, no. 2449)
Juga sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
hadist
Barangsiapa mengumpulkan harta haram
kemudian ia menyedekahkannya
maka ia tidak memperoleh pahala darinya
dan dosanya terbeban atas dirinya.
(Hadits riwayat Ibnu Hibbân (3367)
dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahih at-Targhîb no. 880)
Uang haram, meskipun dalam jumlah yang tak seberapa tetap saja akan dapat berpotensi buruk bagi seseorang yang memanfaatkannya. Seorang Muslim harus berhati-hati dan menyeleksi ketat apa-apa yang masuk ke dalam perutnya. Semoga Allâh Ta'ala menyelamatkan kita dari fitnah harta di dunia ini.
Wallâhu a’lam.