Rabu, 24 Agustus 2011

Shalat Sunnah Setelah Shalat Witir.. Bolehkah???

Ada sebagian kaum muslimin yanag beranggapan bahwa, kalau shalat tarawih dimasjid kemudian diikuti sampai witir, maka habislah jatah orang itu untuk melaksanakan shalat sunnah lainnya setelah itu dimalam itu, alasan mereka ini dibangun atas pemahaman mereka terhadap hadits dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya Nabi saw. bersabda: ”Jadikanlah akhir shalat kamu pada malam itu witir.” (Muttafaq ’alaih), mereka memahami pesan rasul agar menjadikan witir sebagai akhir dari shalat sunnah dimalam itu. kalau kita lihat substansi dari hadits tersebut, bukanlah bermakna larangan melaksanakan shalat sunnah setelah selesai shalat Witir, tapi hadits tersebut berisi semacam pesan Rasul kepada kita, agar sebaiknya shalat malam kita diakhiri dengan witir, tetapi bukan melarang shalat sunnah lagi setelah witir, seperti ini lah pendapat yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin al ’Utsaimin dalam fatwanya [Durus wa Fatawa fil Haram al Makki].

Apalagi hadits ini bila kita sandingkan dengan hadits Rasulullah lainnya, hadits yang diriwayatkan oleh Thalq bin Ali berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Dalam satu malam tidak ada dua shalat witir”. [HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi, hadits ini shahih menurut Syaikh al Albani dalam kitabnya Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud], hadits Rasul ini melarang ada dua kali witir dalam satu malam, bukan melarang mengerjakan shalat sunnah yang jumlah rakaatnya genap setelah selesai witir, artinya bila anda sudah melaksanakan witir anda hanya dilarang melaksanakan witir lagi, tetapi tidak dilarang melaksanakan shalat sunnah yang bilangan rakaatnya genap.Ditambah lagi hadits dari Ummu Salamah “Sesungguhnya Nabi SAW shalat dua rakaat setelah shalat witir.” [HR. Turmudzi, Ahmad dan Ibnu Majah, dan Ibnu Majah menambahkan: "Dan beliau (shalat dengan) duduk"].

Jadi sangat jelaslah sudah lemahnya pendapat yang melarang shalat sunnah setelah shalat witir. Intinya apabila anda sudah melaksanakan shalat witir, anda tidak dilarang melaksanakan shalat sunnah setelah witir dimalam itu, asal dengan syarat shalat sunnah yang anda kerjakan berikutnya jumlahnya genap saja, dan tidak ditutup lagi dengan bilangan rakaat ganjil (witir), sebab Rasul melarang adanya dua witir dalam satu malam.

Imam Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughny (II/597-599) menerangkan, orang yang telah melaksanakan witir pada awal malam, lalu bangun malam dan hendak melaksanakan sholat malam, maka disunnahkan sholat baginya melaksanakan sholat sunat dua rakaat, tapi membatalkan witirnya. Artinya ia tidak usah melaksanakan sholat witir di awal ibadah sholat malamnya, dan tidak usah melaksanakan sholat witir lagi di akhir sholat malamnya sebagai penutup, dia cukup melaksanakan shalat yang rakaatnya genap. Wallahu a’lam.


Source: http://abunyahasan.blogspot.com/2008/11/shalat-sunnah-setelah-witir-boleh_5374.html

Rabu, 10 Agustus 2011

Seputar Fiqh Kewanitaan Di Bulan Ramadhan [2]


1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).

2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).

Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama).

3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.

4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.

5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.

6. Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5)

II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)

Shalat tarawih secara berjama’ah telah disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita. Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.

Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).

Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.

“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”.

Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.

Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6)

III. I’TIKAF

1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.

2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :

دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ

“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kebaikan”.

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.

3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526) : “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallahu A’lam”.

4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.

5. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.

6. Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.

7. Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.

8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.

9. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Dan bertaqwalah kalian pada Allah subhanahu wa ta’ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S. Ath-Thalaaq : 1).

Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Mustamin Musaruddin. Judul asli “Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan Ramadhan”. Url sumber http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)

Rakaat Shalat Witir

Shalat witir adalah salah satu shalat sunnah yang sangat dianjurkan pelaksanaannya.

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

اجْعَلُوا آجِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikanlah shalat witir sebagai akhir shalat kalian di malam hari.
(HR al-Bukhâri no. 948)


Dalam pelaksanaan shalat witir ini, Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam telah mencontohkan beberapa cara, diantaranya dengan praktek yang saudara tanyakan. Tiga rakaat tersebut boleh dilaksanakan dalam dua cara.

Pertama, dilakukan dengan dua rakaat lalu salam kemudian disempurnakan dengan satu rakaat sebagai rakaat ketiganya. Praktek seperti ini pernah dilakukan oleh Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu sebagaimana dijelaskan imam Nâfi’ rahimahullâh dalam pernyataan beliau:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ
وَ الرَّكْعَةِ فِيْ الوِتْرِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ

Sesungguhnya Abdullah bin Umar radhiyallâhu'anhu
pernah salam (mengakhirkan shalat) antara dua rakaat dengan satu rakaat
dalam witir hingga memerintahkannya untuk memenuhi sebagian kebutuhannya.

(HR al-Bukhâri no. 991 dari Imam Mâlik dalam al-Muwatha’ 1/125.
Lihat kitab Irwâ’ul Ghalîl 2/148 no.418).


Bahkan Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu sendiri menyatakan:

كَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَفْصُلُ الشَّفْعَ وَ الْوِتْرَ بِتَسْلِيْمٍ يُسْمِعُنَا

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pernah memisahkan
antara dua rakaat dan yang satu (dalam witir) dengan salam yang bisa kami dengar
[1]


Oleh karena itu Ibnu Hibbân rahimahullâh dalam kitabnya Shahih Ibni Hibbân memberikan satu bab yang diberi judul, “Penjelasan Tentang Hadits yang Menunjukkan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam Pernah Memisahkan Antara Dua Rakaat dan yang Ketiga dengan Salam”.


Kedua
, dilakukan secara bersambung tiga raka’at dengan satu salam yaitu setelah raka’at ketiga. Praktek seperti ini dijelaskan oleh Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallâhu'anha dalam pernyataannya :

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزِيْدُ فـِي رَمَضَانَ وَ لاَ فـِي غَيْرِهِ
عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَتً يُصَلِّى أَرْبَعً فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِـهِنَّ
ثُـمَّ يُصَلِّى أَرْبَعً فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِـهِنَّ ثُـمَّ يُصَلِّى ثَلاَثً

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pada bulan Ramadhan
dan diluar Ramadhan tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat,
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam shalat empat rakaat,
jangan tanya tentang bagus dan panjangnya shalat beliau.
Kemudian shalat lagi empat rakaat,
jangan tanya tentang bagus dan panjangnya shalat beliau.
Kemudian beliau shallallâhu 'alaihi wasallam shalat tiga raka’at.

(Muttafaqun ‘alaihi).


Wallahu a’lam

(Sumber : Shahîh Fiqhus Sunnah 1/388).

http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=279

Senin, 01 Agustus 2011

Seputar Fiqih Kewanitaan di Bulan Ramadhan

1. Pendahuluan

Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S.Al Baqarah : 183).

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

“Islam itu dibangun atas lima perkara, syahadat Laa ilaaha illallah waa anna Muhammadan abduhu warasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” Muttafaqun ‘alaih.

Beliau shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebutkan Puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak akan tegak agama itu kecuali dengannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan syari’at) padanya, wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bagi seorang perempuan, kewajibannya untuk melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana halnya seorang laki-laki, adalah ketika telah mencapai masa baligh yang mana masa ini tidak ditentukan oleh usia semata, melainkan oleh beberapa faktor :

Pertama : haidh, yaitu keluarnya darah kotor dari kemaluannya. Bila seorang anak perempuan telah mengalami haidh, meskipun baru berumur 10 tahun, maka telah wajib baginya untuk berpuasa Ramadhan.

Kedua : Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.

Ketiga : Umur/usia 15 tahun sebagai batas maksimal seorang anak digolongkan telah baligh jika dua tanda baligh di atas belum muncul. Maka seorang anak yang telah berusia 15 tahun walaupun belum haidh dan belum tumbuh bulu di sekitar kemaluannya, dia telah wajib untuk berpuasa Ramadhan.

Dan adalah juga kewajiban orang tua untuk memperhatikan keadaan perkembangan anaknya, sehingga jika anak perempuan telah haidh walaupun dalam usia sekitar 10 tahun misalnya, orang tua tersebut segera menyuruh anaknya untuk berpuasa.

Wanita muslimah mukallaf yang terkena kewajiban puasa jika bulan Ramadhan telah tiba adalah wanita muslimah yang sehat (tidak sakit) dan muqim (berada di negerinya dan tidak dalam keadaan bersafar). Dan jika dia dalam keadaan sakit atau musafir (sedang dalam perjalanan) di dalam bulan Ramadhan maka boleh baginya berbuka puasa, dan wajib baginya untuk meng-qodho` (mengganti) pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan) sebanyak hari berbukanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al Baqarah : 185).

Demikian pula halnya seseorang yang menjumpai (mendapati) bulan Ramadhan sedang usianya telah sangat lanjut dan telah lemah sehingga tidak kuat lagi untuk berpuasa atau seorang yang sakit tidak ada harapan lagi untuk sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun, maka dia boleh berbuka puasa dan untuk setiap hari berbukanya dia berkewajiban untuk memberi makan seorang miskin. Dan ini dinamakan fidyah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Q.S.Al Baqarah : 184).
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25)

2. Wanita yang terkena pengecualian dari kewajiban puasa Ramadhan

a. Wanita haidh dan nifas

- Wanita haidh
* Wanita yang sedang mengalami masa haidh dikecualikan dari kewajiban berpuasa bahkan wajib baginya untuk meninggalkan puasa ketika sedang haidh dan puasa yang dikerjakan oleh wanita haidh batal dengan datangnya haidh. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

“Bukankah juga seorang wanita mengalami haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Itulah (bentuk) kurangnya diennya (agamanya)”. Hadits riwayat Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu.

Dan telah ada ijma’ ‘ulama bahwa wanita yang haidh yang meninggalkan shalat dan puasa, sebagaimana yang dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 2/351 katanya : “Ummat telah sepakat bahwasanya diharamkan atas wanita yang haidh shalat wajib maupun sunnah dan mereka (ummat) sepakat akan jatuhnya (hilangnya) kewajiban shalat atas wanita haidh tersebut. Maka dia tidak perlu mengganti shalatnya jika telah bersih. Berkata Abu Ja’far Ibnu Jarir di dalam kitabnya Ikhtilaful Fuqoha` : “Ummat telah sepakat bahwa wajib bagi wanita haidh untuk meninggalkan semua shalat baik yang fardhu (wajib) maupun yang sunnah, dengan (meninggalkan) semua puasa baik yang fardhu maupun yang sunnah dan meninggalkan thowaf baik yang fardhu maupun yang sunnah, dan bahwa jika wanita haidh tersebut mengerjakan shalat atau berpuasa atau thowaf, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalan fardhunya maupun sunnahnya sama sekali””. Dan hal yang serupa juga dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaj 1/637.

* Wajib bagi wanita tersebut untuk meng-qodho` (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan pada hari-hari yang lain dan tidak perlu meng-qodho` shalatnya. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya oleh seorang wanita yang bernama Ma’adzah katanya : “Kenapa wanita yang haidh meng-qodho` puasanya dan tidak meng-qodho` shalatnya ?” Beliau menjawab :

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat”. Muttafaqun ‘alaihi.

Beliau radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa perkara ini adalah termasuk perkara tauqifiyah dimana pada perkara tersebut nashlah yang mesti diikuti.

* Seorang wanita yang haidh mulai berhenti berpuasa sejak keluarnya darah haidh dan sejak itu pula kalau dia sedang berpuasa maka puasanya batal dan tidak boleh diteruskan meskipun tinggal beberapa saat waktunya dari waktu tenggelamnya matahari (berbuka puasa).

* Jika haidhnya sudah selesai maka dia mulai berpuasa dengan ketentuan :
Kalau haidhnya berhenti sebelum terbitnya fajar (bukan matahari), maka dia berniat untuk berpuasa lalu mulai berpuasa, meskipun dia belum sempat mandi bersih sampai terbitnya fajar dan sejak itu puasanya terhitung, sebagaimana hal ini dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bary 4/192 dari jumhur ahli ilmu, demikian pula Al-Qurthuby rahimahullahu dalam kitab Tafsirnya ketika menjelaskan tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (Q.S.Al Baqarah : 187).

Jika berhentinya haidh pada pertengahan hari puasa, maka yang harus dilakukan adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya matahari, yang mana hal ini dilakukan dalam rangka pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu (hari “puasa”), kemudian dia wajib meng-qodho’ puasanya untuk hari itu.

* Tidak dianjurkan bagi wanita untuk mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan haidh, sebab haidh adalah sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala telah tetapkan bagi wanita, dan para wanita pada zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidaklah memaksakan diri mereka untuk mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak diketahui salah seorang dari mereka ada yang pernah melakukannya. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya dan obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya dan dapat benar-benar menghentikan darah, maka puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho`nya. Tetapi jika wanita tersebut ragu apakah darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau masih ada yang keluar maka wanita tersebut masih dalam keadaan haidh, wajib untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya. Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : “Diperbolehkan bagi wanita untuk mengkonsumsi tablet yang bisa menghalangi haidh agar dia bisa berpuasa (lengkap) jika tablet (obat-obat) ini tidak membahayakan kesehatannya”. Al-Muntaqa Min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan 3/148.

- Wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas hukumnya sama dengan wanita haidh. Sebagaimana ijma’ nya para ahul ilmi bahwa wanita yang sedang nifas tidak halal untuk berpuasa dan wajib baginya untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya pada hari-hari yang lain. Berkata Al-Imam An-Nawawy (dalam Al Minhaj 1/637) : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak wajib shalat dan puasa atas mereka.”

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2)

3. Beberapa hal yang berkaitan haidh dan nifas sehubungan dengan puasa Ramadhan :

* Wanita haidh yang telah lengkap (cukup bilangan hari haidh menurut kebiasaannya), kemudian dia mandi dan melaksanakan puasa. Jika kemudian dia melihat sesuatu dari farjinya (kemaluannya) maka hal ini tidak menghalanginya untuk terus shalat dan puasa berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anhuma :

كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا

“Kami tidak menganggap kekuningan dan keputihan setelah suci sama sekali”. Hadits riwayat Bukhary dan Abu Daud dan ini lafazh Abu Daud.

* Jika darah haidhnya berhenti sebelum genapnya hari-hari kebiasaan haidhnya kemudian dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu setelah itu dia kembali melihat darah dari kemaluannya maka darah itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam keadaan haidh sampai selesai masanya dan puasa yang telah dilakukannya dalam selang waktu antara berhentinya darah yang pertama dengan keluarnya darah untuk kedua kalinya, tidak diperhitungkan dan dia harus meng-qodho` nya.

* Ada sebagian wanita yang bisa mengalami haidh selagi hamil. Kalau memang itu adalah kebiasaan wanita tersebut maka ia dianggap haidh.

* Wanita nifas, demikian pula halnya jika waktu nifasnya telah genap 40 hari kemudian dia mandi lalu setelah itu ada darah lagi yang keluar setelah lewat 40 hari tadi maka hal ini tidaklah berpengaruh dan tidak dianggap darah nifas lagi dan sudah boleh shalat dan puasa, kecuali kalau selesainya waktu nifas bersambung dengan waktu haidhnya.

* Jika belum genap 40 hari darahnya terhenti, sehingga dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu tidak ada darah lagi setelah itu maka berarti masa nifasnya tidak sampai 40 hari dan hal ini mungkin saja terjadi.

* Jika setelah mandi lalu shalat dan berpuasa kemudian setelah itu ada lagi darah yang keluar maka dia harus segera menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap masih dalam keadaan nifas.

* Darah yang keluar dari seorang wanita setelah keguguran (secara sengaja ataupun tidak) apakah juga mengharuskan dia untuk berbuka (tidak berpuasa)?

Jawab :
Jika janin yang keluar dari kandungan itu sudah berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-anggota tubuhnya seperti kaki, lengan dan kepalanya maka wanita yang keguguran tersebut dianggap mengalami nifas dan padanya berlaku hukum wanita nifas, tidak boleh shalat dan puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari dan anggota-anggota tubuhnya masih belum berbentuk, maka tidaklah dia dianggap nifas.

4. Wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Isa no.715, Abu Daud no.2408 dan Ibnu Majah no.1667 dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’by bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui”.

Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para ‘ulama tentang bolehnya wanita menyusui dan hamil jika mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan janinnya atau anaknya untuk berbuka.

Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan dirinya dan atau anaknya, maka wajib baginya untuk membayar fidyah berupa memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin, dan tidak meng-qodho` puasanya, kecuali kalau dia tidak khawatir terhadap dirinya dan atau anaknya jika ia berpuasa untuk mengganti puasanya (meng-qodho`nya) dan dia sanggup untuk itu, maka dia boleh meng-qodho`nya dan tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah pengecualian/pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan tua, orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya dan wanita hamil serta wanita menyusui yang mengkhawatirkan dirinya atau anaknya dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk berpuasa (boleh bagi mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi orang miskin”.

Sebab penunjukan makna yang umum yang terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya.

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.

Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh (karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan atau anak-anaknya.

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan (hukum) di dalam ayat ini :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.

dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salim Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih (lihat : Sifat Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam Ramadhan hal.80).

Peringatan/catatan Penting tentang wanita mustahadhah

Wanita yang mengalami istihadhah yaitu wanita yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh.

Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah istihadhah.

Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Berbeda dengan istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh (Majmu’ Al- Fatawa 25/251).

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Mustamin Musaruddin “Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan ramadhan”. URL Sumber http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=3, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=4)

http://akhwat.web.id/