Minggu, 24 April 2011

16 Kesalahan Aksi Pengeboman

(Mabhats: Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII)

Aksi pengeboman yang dilakukan oleh kelompok tertentu dan juga orang-orang yang melampaui batas (dzalim) yang memiliki pemikiran yang sesat itu merupakan tindakan dosa dan termasuk perbuatan aniaya dan permusuhan, serta mengakibatkan kerusakan di muka bumi. Tindakan ini juga menyelisihi ajaran Islam yang lurus.

Berikut ini penjelasan hukum berdasarkan dalil syariat untuk mengetahui buruknya aksi pengeboman dan besarnya dosa perbuatan itu, serta hukumnya dalam pandangan Islam.

1. Islam memerintahkan berbuat adil, kebaikan, dan kasih sayang, serta melarang berbuat kemungkaran dan permusuhan, berdasarkan firman Allâh Ta'âla yang artinya:

“Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, Allâh memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran"
(Qs an-Nahl/16:90)

Aksi pengeboman ini merupakan perbuatan dosa, karena tidak mengandung unsur keadilan, kebaikan dan kasih sayang sama sekali. Ini merupakan perbuatan mungkar dan permusuhan.

2. Dalam ajaran Islam, tindak permusuhan dan kezhaliman hukumnya haram, berdasarkan firman Allâh Ta'âla :

"Janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
(Qs al-Baqarah/2:190)

Dalam hadits qudsi, Allâh Ta'âla berfirman:

"Wahai hamba-hambaku sesungguhnya Aku (Allâh) mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku mengharamkannya atas kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi."
(HR Muslim)

Dan aksi pengeboman tersebut berpangkal pada permusuhan dan bermuatan kezhaliman.

3. Dalam agama Islam, membuat kerusakan di muka bumi hukumnya haram, sesuai dengan firman Allâh Ta'âla:

"Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allâh tidak menyukai kebinasaan."
(Qs al-Baqarah/2:205)

Sementara perbuatan pengeboman termasuk bentuk kerusakan di bumi, bahkan merupakan jenis kerusakan di bumi yang paling parah dan sadis.

4. Di antara kaidah Islam yang agung yaitu haramnya melakukan perbuatan yang membahayakan (diri sendiri dan orang lain, red).

Hal ini termaktub dalam sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam :

"Janganlah membahayakan diri sendiri ataupun orang lain."

Hadits di atas diriwayatkan oleh beberapa Sahabat secara marfû. Sementara Imam Abu Dâwud radhiyallâhu'anhu dan yang lainnya meriwayatkan dari Abi Sharmah radhiyallâhu'anhu, seorang Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam , beliau bersabda :
"Barang siapa yang membahayakan orang (lain), maka Allâh akan membahayakan dirinya, dan barang siapa yang memberatkan orang lain maka Allâh akan memberatkannya."

Pada sanad hadits di atas terdapat sedikit komentar, akan tetapi dari sisi makna, benar adanya. Sesungguhnya balasan itu tergantung dari jenis amalannya. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:

“Kama tadînu tudânu (engkau akan memperoleh balasan tindakan sebagaimana yang pernah engkau perbuat)."

Tidak halal (tidak boleh) seorang Muslim mencelakai orang lain, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan. Sementara, cara-cara yang mereka tempuh termasuk bentuk mencelakai orang lain yang paling bengis.

5. Dalam Islam ada kaidah agung lain, yaitu “Membawa manfaat dan mencegah madharat” (kerugian). Aksi mereka jelas tidak mengandung kebaikan dan manfaat sedikit pun. Sebaliknya, berdampak timbulnya kerusakan yang tak terukur banyaknya.

6. Dalam ajaran Islam, bunuh diri hukumnya haram.

Allâh Ta'âla berfirman yang artinya:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allâh Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh."
(Qs an-Nisâ/4:29-30)

Dalam kitab ash-Shahîhain (riwayat Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim) dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu berkata, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung sehingga menyebabkan dirinya meninggal, maka di dalam neraka Jahannam, dia (juga) menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung. Dia akan menjatuhkan diri selama berada di neraka Jahannam selama-lamanya. Barang siapa meminum racun sehingga membunuh dirinya, maka racunnya akan berada di tangannya di neraka, dia akan meminumnya di dalam Jahannam selamalamanya. Barang siapa membunuh dirinya dengan besi, maka besinya akan berada berada di tangannya. Di neraka Jahannam, dia akan menikam-nikam perutnya (dengan besi). Dia tinggal di neraka Jahannam selama-lamanya."

Para pelaku pengeboman, mereka telah membunuh diri mereka sendiri.

7. Dalam agama Islam, tidak dibenarkan membunuh jiwa seorang Muslim yang ma’shûm (terpelihara) kecuali dengan alasan yang benar.

Allâh Ta'âla berfirman:

"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allâh, kecuali dengan suatu (alasan) yang benar."
(Qs al-Isrâ/17:33)

Saat menyebutkan sifat-sifat orang-orang Mukmin yang merupakan hamba-hamba Allâh yang Maha Penyayang, Allâh Ta'âla berfirman yang artinya:

“Dan orang-orang yang tidak beribadah kepada sesembahan yang lain beserta Allâh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan dosanya, (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina."
(Qs al-Furqân/25:68-69)

Dalam kitab Shâhîhain, Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu'anhu meriwayatkan hadits dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam yang berbunyi:

"Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwasanya tidak ada Ilâh yang hak untuk disembah kecuali Allâh dan Aku ada adalah utusan Allâh Ta'âla kecuali dengan satu di antara tiga alasan. Pertama: Orang yang telah menikah (akan tetapi) berbuat zina, kedua: jiwa dibalas jiwa, dan ketiga: orang yang murtad dari agamanya, memisahkan diri dari al-jama’ah (Islam)."

Dalam Sunan at-Tirmidzi dengan sanad shâhîh, Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allâh dari pada terbunuhnya seorang Muslim."

Pada peristiwa pengeboman tersebut, terdapat banyak kaum Muslimin yang tewas.

8. Islam datang dengan kasih sayang. Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi. Orang-orang yang menyayangi, akan disayangi oleh Dzat Yang Maha Penyayang (Allâh Ta'âla ). Ada banyak hadits mengenai pengertian ini. Dalam riwayat at-Tirmidzi dan lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu , Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Tidaklah kasih-sayang dicabut kecuali dari orang yang celaka (malang)."

Bahkan semangat kasih sayang juga ditujukan kepada binatang ternak dan binatang melata sekalipun. Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan dalam al-Adabul Mufrad , bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa merasa kasihan walaupun kepada binatang sembelihan sekalipun, Allâh akan mangasihinya pada hari Kiamat."

Imam al-Bukhâri rahimahullah juga meriwayatkan, ada seorang laki-laki berkata,

“Wahai Rasulullâh, sungguh aku akan menyembelih seekor kambing, namun aku merasa kasihan kepadanya”.

Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam berkata:

"Jika engkau merasa kasihan kepada seekor kambing, maka Allâh akan mengasihimu."

Begitu juga, terdapat riwayat yang menyebutkan ada seorang lelaki memperoleh ampunan disebabkan rasa kasihannya kepada seekor anjing yang memakan tanah yang basah lantaran kehausan. Ia pun turun ke dalam sumur dan mengisi slopnya (dengan air). (Untuk naik ke bibir sumur, red) ia menggigit slop itu dengan mulutnya. Kemudian ia memberi minum anjing itu. Kemudian Allâh Ta'âla berterima kasih kepadanya dan mengampuninya. Hadits ini termaktub dalam Shahîhain.

Perhatikanlah kasih sayang agung yang diserukan oleh Islam ini. Bandingkanlahlah dengan akibat ulah yang mereka lakukan dari kejahatan ini (pengeboman). Anak-anak menjadi yatim, wanita-wanita menjadi janda, nyawa-nyawa melayang, hati menjadi gelisah takut, harta-harta musnah. Manakah kasih sayang Islam, jika mereka berakal?

9. Islam melarang tindakan intimidasi dan menakut-nakuti kaum Mukminin. Disebutkan dalam Sunan Abu Dâwud dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam beliau bersabda:

"Tidaklah halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti Muslim yang lainnya."
(HR Abu Dawud dan Ahmad)

Berapa banyak kaum Muslimin yang tercekam rasa ketakutan setelah kejadian pengeboman.

10. Islam melarang seseorang menghunus pedang di hadapan kaum Mukminin. Diriwayatkan dalam Shâhîhain, Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Apabila salah seorang dari kalian melewati masjid atau pasar kami dengan membawa anak panah, hendaklah ia memegang mata anak panahnya agar tidak mengenai seorang pun dari kalangan Muslimin."
(HR al-Bukhâri dan Muslim)

Sementara pada aksi jahat ini, pelaku menempatkan bom yang berdaya rusak tinggi dan menggunakan senjata-senjata yang menimbulkan kerusakan di tengah kaum Muslimin, termasuk merusak pemukiman penduduk.

11. Islam datang dengan melarang seseorang menghunuskan senjatanya kepada seorang Muslim, baik itu sungguh-sungguh ataupun bercanda, termasuk juga melarang menyerahkan pedang dalam keadaan terhunus. Ini sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa manusia dan jaminan keselamatan bagi masyarakat.

Imam al-Bukhâri rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahîhain dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Janganlah salah seorang dari kalian menghunuskan senjata ke arah saudaranya. Sebab, ia tidak tahu boleh jadi setan melepaskan senjata itu dari tangannya sehingga menjerumuskannya ke dalam lubang api neraka."
(HR al-Bukhâri dan Muslim)

Sementara Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa yang menghunuskan senjata ke arah saudaranya, maka malaikat akan terus mengutuknya sampai ia melepaskannya meskipun dia itu adalah saudara kandungnya sendiri."
(HR Muslim no. 4741)

Petunjuk ini disampaikan dalam rangka berhati-hati supaya tidak terjatuh dalam bahaya yang tidak diinginkan (melukai atau membunuh tanpa sengaja, red).

Perhatikanlah peringatan yang tercantum dalam hadits-hadits di atas “sehingga menjerumuskannya ke dalam lubang api neraka”, “maka malaikat akan terus mengutuknya”. Sekarang, bagaimana dengan peristiwa pengeboman ini, yang merupakan satu aksi membahayakan yang dilakukan dengan disengaja (direncanakan)?

12. Islam mengharamkan perbuatan khianat. Allâh Ta'âla berfirman :

"Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berkhianat."
(Qs al-Anfâl/8:58)

Allâh Ta'âla juga berfirman:

"Sesungguhnya Allâh tidak menyukai
orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa."
(Qs an-Nisâ‘/4:107)

Disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Abi Sa’îd al-Khudri radhiyallâhu'anhu, Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Pada hari Kiamat setiap orang yang berkhianat akan memiliki panji sendiri yang ditinggikan sesuai dengan tingkat pengkhianatannya."
(HR Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Buraidah radhiyallâhu'anhu bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Berperanglah, janganlah berkhianat, mengingkari janji, dan mencincang anggota badan."
(HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Jadi, dapat diketahui betapa besar pengkhianatan yang mereka lakukan. Dan alangkah parah perbuatan khianat mereka (dengan pengeboman yang mereka lakukan).

13. Islam mengharamkan pembunuhan terhadap anakanak, wanita-wanita, dan orang-orang lanjut usia. Dalam Shahîhain dari Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu disebutkan, ada seorang wanita terbunuh pada salah satu peperangan yang diikuti Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau pun mengingkari pembunuhan atas wanita dan anak-anak.

Imam Abu Dâwud meriwayatkan, Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Berperanglah atas nama Allâh, di jalan Allâh, dan atas nama agama Rasulullâh. Janganlah membunuh orang tua, bayi, anak kecil dan wanita."
(HR Abu Dawud no. 2247)

Sementara aksi pengeboman yang dilancarkan, tidak membedakan target antara anak-anak dan orang dewasa, laki-laki dan wanita. Justru, kebanyakan korban dari kalangan orang-orang tua, wanita dan anak-anak.

14. Islam memerintahkan untuk memelihara dan menjalankan perjanjian, dan mengharamkan membunuh orang kafir mu’âhad (yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin) dan orang-orang meminta perlindungan keamanan (suaka). Allâh Ta'âla berfirman:

"Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."
(Qs al-Isrâ‘/17:34)

Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barangsiapa membunuh orang kafir mu’âhad (yang telah terikat perjanjian dengan kaum Muslimin), ia tidak akan mencium harumnya surga, padahal aroma surga dapat dirasakan dari jarak perjalanan empat puluh tahun."
(HR al-Bukhari no. 6403)

Imam an-Nasâi rahimahullah meriwayatkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa memberikan jaminan keamanan jiwa bagi seorang laki-laki, kemudian ia membunuh orang tersebut, maka aku berlepas diri dari pembunuhnya, walaupun yang terbunuh itu orang kafir."

Atas dasar ini, orang kafir yang masuk ke negara Muslimin dengan perjanjian diberikan keamanan atau memiliki perjanjian dengan pemimpin negara yang bersangkutan, ia tidak boleh dianiaya, dirinya juga hartanya.

Adapun mereka, adalah orang-orang yang melampaui batas (berbuat zhalim), tidak memperdulikan jaminan perlindungan bagi orang kafir yang diberikan oleh kaum Muslimin, dan tidak pula menjaga perjanjian. Mereka pun membunuhi mu’âhidîn (orang-orang kafir yang terikat perjanjian) dan orang-orang yang datang untuk mencari jaminan keamanan.

15. Islam mengharamkan perbuatan aniaya terhadap orang dan perusakan terhadap hak milik orang. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian diharamkan atas kalian seperti haram (suci)nya hari ini, di bulan ini, di negeri kalian ini."

Sedangkan mereka, pelaku pengeboman yang telah melampaui batas (dzalim), dalam aksi mereka berapa banyak bangunan rusak dan pemukiman hancur serta harta-benda yang lenyap?!

16. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam melarang menyerang manusia pada waktu malam hari ketika mereka sedang tidur, tenang, dan istirahat. Bahkan ada ancaman khusus bagi pelakunya dari beliau. Diriwayatkan dalam al-Musnad dengan sanad yang shahîh dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu , Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa yang melempar (menyerang) kami pada malam hari, ia bukan golongan kami."
(HR Ahmad 7921)

Para pelaku pengeboman memilih waktu untuk melakukan kejahatan mereka yang keji dan mungkar tersebut pada waktu malam hari.

Melalui pemaparan di atas, siapapun yang mengetahui Islam dengan baik, dasar-dasarnya yang agung dan kaidah-kaidahnya yang kuat serta petunjuk-petunjuknya yang sarat dengan hikmah, akan mendapati dengan sebenarnya dan mengetahui dengan yakin perbedaan besar antara perbuatan dosa ini (pengeboman) dengan Islam. Karena, sesungguhnya perbuatan tersebut hukumnya haram menurut syari’at dan tidak pula dibenarkan oleh Islam yang lurus ini, sehingga tindakan buruk ini tidak boleh dikaitkan kepada Islam, atau dihubung-hubungkan dengan orang-orang yang taat menjalankan Islam.

Sebagai penutup, saya memohon kepada Allâh Ta'âla agar mengarahkan kami dan seluruh Muslimin kepada kebaikan, dan menunjukan kami jalan yang benar. Kami berlindung kepada Allâh Ta'âla dari fitnah-fitnah yang menyesatkan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan aku memohon kepada-Nya untuk menjaga kaum Muslimin, baik pada keamanan maupun keimanan mereka, serta menjauhkan mereka dari kejelekan dan fitnah-fitnah. Sesungguhnya Allâh Ta'âla Maha mendengar lagi Maha mengabulkan permintaan.

[*]
Ceramah Prof. DR. ‘Abdurrazâq bin ‘Abdulmuhsin al-Abbâd hafizhahullâh yang berjudul Hawâditsu at-Tafjîr fî Mizânil Islâm (Fenomena Pengeboman Menurut Timbangan Islam). Ceramah ini diterjemahkan secara bebas oleh Ustâdz Nur Hidayat, Lc. staff pengajar Pesantren Imam Bukhari, dengan perampingan dalil pada beberapa point.

Minggu, 17 April 2011

Bermula dari Pengkafiran, Berujung Pengeboman

(Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)

Kehormatan seorang Muslim sangat mulia di sisi Allâh Ta'âla. Oleh karena itu, tidak boleh merusak kehormatan seorang Muslim dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syari’at, seperti menuduh dan menghukumi kafir terhadap seseorang yang zhahirnya Muslim tanpa kaedah-kaedah yang benar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata:

“Tidak seorang pun berhak mengkafirkan seseorang dari kaum Muslimin, meskipun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumen) kepadanya dan dijelaskan jalan yang benar. Karena orang yang keislamannya telah diketahui secara yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya hanya dengan keraguan. Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (kesamaran)”.[1]


Bahaya Pengkafiran Tanpa Kaidah Yang Benar

Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullâh menjelaskan bahaya mengkafirkan seorang Muslim dengan tanpa kaidah yang benar, dengan mengatakan:

“Tidak boleh bersikap meremehkan (sembrono) dalam menghukumi kafir atau fasiq terhadap seorang Muslim, karena dalam perkara itu terdapat dua bahaya yang besar.

Pertama: Membuat kedustaan terhadap Allâh Ta'âla dalam penetapan hukum, dan terhadap orang yang dihukumi (kafir) melalui predikat yang dilontarkan kepadanya."

Larangan tentang hal ini banyak sekali, antara lain firman Allâh Ta'âla :

(Qs al-An’âm/6:144)

"Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allâh untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim."

(Qs al-An’âm/6:144)

Dan ayat-ayat lain yang melarang berbicara atas nama Allâh Ta'âla tanpa ilmu."

Kemudian Syaikh al-’Utsaimin rahimahullâh mengatakan:

“Kedua: Terjatuh ke dalam perkara yang dia tuduhkan kepada saudaranya tersebut, jika saudaranya tidak seperti apa yang dia tuduhkan."

Dalam Shahîh Muslim, ‘Abdullâh bin Umar radhiyallâhu'anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

hadits

"Jika seseorang mengkafirkan saudaranya (se-iman), maka sesungguhnya mengenai salah satu dari keduanya."
(HR Muslim)

Dalam riwayat lain:

hadits
"Jika memang dia seperti yang dikatakan. Jika tidak, perkataan itu kembali kepada orang yang berkata."
(HR Muslim)

Juga sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dari Abu Dzar radhiyallâhu'anhu, beliau bersabda:

hadits
"Barangsiapa memanggil orang lain dengan kekafiran atau dia berkata “Hai musuh Allâh”, padahal tidak benar, maka hal itu kembali padanya”.[2]

Sejarah Pengkafiran Di Zaman Ini

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi berkata:

“Kita meyakini bahwa permasalahan ‘pengkafiran’ -pada fase-fasenya yang akhir- di zaman kita ini, awal muncul keburukannya mulai dari dalam penjara-penjara Mesir pada tahun enam puluhan Masehi –sekitar empat puluh tahun yang lalu- dari sebagian para pemikir harakah-harakah (para sastrawan) yang mengkafirkan masyarakat secara umum dan menghukumi mereka murtad.

Sehingga diriwayatkan, dari sebagian mereka itu ada yang mengatakan:

‘Aku tidak mengetahui seorang Muslim-pun di atas bumi ini selain diriku, dan seorang yang lain di India selatan!!!’.

Kemudian pada pertengahan tahun tujuh puluhan Masehi, sikap ekstrim pelakunya semakin bertambah menyimpang dan semakin tajam. Selanjutnya kami telah melihat orang yang mengkafirkan semua manusia seluruhnya. Dia tidak mengecualikan selain orang yang berbai’at kepada syaikh (gurunya) dan imam jama’ahnya (organisasinya)!!

Mereka itu sendiri (berpecah belah) menjadi banyak jama’ah dan bai’at!!

Pada tahun delapan puluhan Masehi, fitnah (baca: musibah) mereka mengendor sedikit. Selanjutnya kami melihat orang yang membatasi pengkafiran hanya kepada pemerintah-pemerintah dan sistem-sistem, mulai dari pemimpin negara, lalu wakilnya, menteri-menterinya, sampai pasukannya dan tentaranya!!
Kelompok yang terakhir ini juga (di dalamnya) terdapat beberapa tingkatan: * Sebagian mereka mengkafirkan pemimpin negara dan wakilnya saja! * Sebagian mereka ada yang menggabungkan -selain di atas- menteri-menterinya juga! * Sebagian mereka ada yang menambahkan anggota parlemen! * Dan seterusnya.

Mereka saling berselisih dan pendapat mereka saling kontradiksi; bahkan kami telah melihat sebagian mereka memvonis sesat kepada sebagian yang lainnya dan menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan yang sangat keji.

Bahkan, banyak di antara mereka yang mengkafirkan dan menghukumi murtad kelompok dan jama‘ah yang menyelisihi mereka.

Seandainya kita memperhatikan secara mendalam, niscaya kita akan melihat bahwa akar masalah perselisihan mereka adalah ‘berhukum dengan selain hukum yang Allâh Ta'âla turunkan’.

Maka, bagaimana jika keadaan itu sampai kepada kenyataan berupa keburukan dan kezhaliman. Dari mulai takfîr (pengkafiran) menjadi revolusi, kemudian pemberontakan dan pengeboman, sehingga menjerumuskan umat ini ke dalam ujian yang sangat berat dan cobaan yang sangat buruk.

Para Ulama kita (Hai'ah Kibaril ‘Ulama) yang dipimpin oleh yang mulia Ustadz kita al-’Allâmah al-Imam Syaikh `Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh -semoga Allâh Ta'âla menjaga mereka yang masih hidup untuk kebaikan umat ini dan merahmati mereka yang sudah wafat- telah menyadari bahaya yang sedang menyelimuti dan terjadi ini, bahaya yang menjalar dan menyusup, mulai dari pengkafiran sampai pengeboman. Mereka menulis penjelasan yang agung untuk memperingatkan umat dari bencana ini dan menjauhkan orang dari pelakunya, yaitu orang-orang yang tidak lurus.

Penjelasan tersebut disebarkan di Majalah al-Buhûts al-Islâmiyah, no. 56, bulan Shafar, th. 1420 H, namun tertahan, tidak menyebar (di tengah masyarakat).”[3]

Pengkafiran Lalu Pengeboman

Pengkafiran terhadap seorang Muslim mengakibatkan perkara-perkara yang berbahaya, seperti menghalalkan darah dan harta, mencegah warisan, batalnya pernikahan, dan lainnya dari akibat-akibat kemurtadan. Untuk itu, seorang Mukmin tidak boleh menghukumi kafir kepada seorang Muslim lainnya hanya karena sedikit syubhat (kesamaran). Jika pengkafiran yang ditujukan kepada individu-individu mengandung bahaya yang besar, lantas bagaimana jika ditujukan kepada pemerintah-pemerintah Muslim? Tentu bahayanya jauh lebih besar! Karena pengkafiran seperti ini akan membuahkan sikap membangkang kepada ulil amri, pemberontakan bersenjata, menyebarkan kekacauan, menumpahkan darah, dan kerusakan manusia dan negara.

Oleh karena itu, Hai’ah Kibaril ‘Ulama (Komisi Ulama Besar) di Kerajaan Saudi Arabia mengisyaratkan adanya hubungan erat antara fenomena pengeboman yang terjadi di berbagai negara Islam dengan pengkafiran. Hai’ah Kibaril ‘Ulama menjelaskan:

“Sesungguhnya Majlis Hai’ah Kibaril ‘Ulama pada pertemuannya ke-49 di kota Thaif, mulai tanggal 2/4/1419 H, telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negara-negara Islam –dan lainnya– yang berupa takfîr (fenomena pengkafiran) dan tafjîr (pengeboman), dan akibat-akibat buruknya yang berupa penumpahan darah dan penghancuran bangunan-bangunan”.[4]

Poin-poin penjelasan Hai’ah Kibaril ‘Ulama ini adalah sebagai berikut:

  1. Takfîr (menghukumi kafir) adalah hukum syari’at, tempat kembalinya adalah kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlîl (menghalalkan), tahrîm (mengharamkan), dan îjâb (mewajibkan) –dikembalikan kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya–, demikian pula takfîr.
  2. Apa yang muncul dari keyakinan yang salah ini (yaitu tergesa-gesa menjatuhkan vonis kafir), yang berupa penghalalan darah, pelanggaran kehormatan, perampasan harta khusus dan umum, pengeboman rumah-rumah dan kendaraan-kendaraan, serta pengrusakan bangunan-bangunan; semua perbuatan ini dan yang semacamnya diharamkan secara syari’at berdasarkan ijmâ’ kaum Muslimin.
  3. Ketika Majlis Hai’ah Kibaril ‘Ulama menjelaskan tentang hukum takfîr kepada manusia dengan tanpa bukti dari Kitab Allâh Ta'âla dan Sunnah Rasul-Nya shallallâhu 'alaihi wasallam, serta menjelaskan bahwa melontarkan tuduhan kekafiran termasuk perbuatan dosa dan menyebabkan berbagai keburukan, maka sesungguhnya Majlis menegaskan bahwa agama Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini. Dan apa yang terjadi di sebagian negara berupa penumpahan darah orang yang tidak bersalah, pengeboman rumah-rumah, kendaraan-kendaraan, serta fasilitas-fasilitas umum, serta pengrusakan bangunan-bangunan, itu adalah kejahatan, dan agama Islam berlepas diri darinya.
  4. Demikian pula semua Muslim yang beriman kepada Allâh Ta'âla dan hari Akhir, mereka berlepas diri darinya. Itu hanyalah tindakan orang yang memiliki pemikiran menyimpang dan akidah yang sesat, dan merekalah yang akan menanggung dosa dan kejahatannya. Perbuatan mereka tidak boleh dikaitkan dengan Islam dan kaum Muslimin yang mengikuti petunjuk Islam, berpegang teguh dengan al-Qur‘ân dan Sunnah, serta berpegang dengan tali Allâh Ta'âla yang kokoh. Akan tetapi, itu adalah perbuatan merusak dan kejahatan yang ditolak oleh syari’at dan fitrah. Oleh karena itu telah datang nash-nash syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan berkawan dengan pelakunya.[5]
  5. Perbuatan sebagian orang yang melakukan bom bunuh diri dengan anggapan jihad fî sabîlillâh merupakan anggapan dan perbuatan yang rusak.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn rahimahullâh berkata:

“...yang aku maksudkan adalah orang-orang yang meledakkan bom di tengah-tengah manusia, dengan anggapan mereka bahwa itu termasuk jihâd fî sabîlillâh!"

Padahal hakekatnya, keburukan yang mereka timpakan terhadap Islam dan kaum Muslimin jauh lebih besar daripada kebaikan yang mereka perbuat. Akibat perbuatan mereka, citra Islam menjadi buruk di mata orang-orang Barat dan lainnya! Apa yang telah mereka hasilkan? Apakah orang-orang kafir mendekat kepada Islam, atau mereka semakin menjauh darinya? Sedangkan bagi umat Islam sendiri, hampir saja setiap Muslim menutupi wajahnya agar tidak dinisbatkan kepada kelompok yang membuat kegemparan dan ketakutan ini. Dan agama Islam berlepas diri darinya.

Walaupun jihâd sudah diwajibkan, akan tetapi para Sahabat tidak pernah pergi ke masyarakat kafir untuk membunuh mereka; kecuali jihad yang memiliki bendera dari penguasa yang mampu melakukan jihâd. Adapun teror ini –demi Allâh Ta'âla– merupakan cacat bagi umat Islam. Aku bersumpah dengan nama Allâh Ta'âla; bahwa kita tidak mendapatkan hasil sama sekali, bahkan sebaliknya, sesungguhnya hal itu memperburuk citra (Islam dan umat Islam). Seandainya kita meniti jalan hikmah, yaitu Pertama: bertakwa kepada Allâh Ta'âla dan memperbaiki diri, Kedua: berusaha memperbaiki orang-orang lain dengan metode-metode syari’at, sungguh hasilnya adalah hasil yang baik”. [6]

Maka, bukankah kita menginginkan perbaikan? Hanya Allâh Ta'âla-lah tempat memohon pertolongan.

[1]

Majmû’ Fatâwa 12/466
[2] Lihat: Al-Qawâidul Mutsla, hal: 148-149, karya Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn, takhrîj: Abu Muhammad Asyraf bin `Abdul Maqshûd
[3] At-Tabshîr bi Qawâ’idit Takfîr, hlm.94-98, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
[4] At-Tabshîr bi Qawâ’idit Takfîr, hlm.100-101, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
[5] Fatwa ini secara lengkap di muat di dalam Kitab At-Tabshîr bi Qawâ’idit Takfîr, hlm.100-113, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
[6] Dari kaset awal dari Syarh Ushûlut Tafsîr, side A, tanggal 2-Rabi’ul Awwal-1419 H. Dinukil dari Kalimat Tadzkirah, hlm. 55-56

(Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII)