Jumat, 18 Maret 2011

Tasyahud Makmum Masbuk

Sholat ditinjau dari jumlah raka’atnya terbagi dua :

a. Sholat

dua raka’at seperti sholat Shubuh, rawatib dan lain-lainnya. Kalau sholat dua raka’at seperti ini, maka cara duduknya adalah duduk iftirasy, seperti duduk tasyahud awal dalam sholat lebih dari dua raka’at atau seperti duduk antara dua sujud yaitu kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.

Pertama : Hadits ‘Abdullah bin Zubair, beliau berkata :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اليُسْرَى وَنَصَبَ اليُمْنَى وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى الْوُسْطَى وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَلْقَمَ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ

“Adalah Rasulullah r apabila beliau duduk dalam dua raka’at, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan yang kanan dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengah dan beliau berisyarat dengan telunjuknya dan beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya dan telapak tangan kirinya menggenggam lututnya”. Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban -sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943- dengan sanad yang hasan.

Kedua : Hadits Wail bin Hujr :

وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ أَضْجَعَ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَنَصَبَ أُصْبَعَهُ لِلدَّعَاءِ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

“Dan apabila ia duduk dalam dua raka’at beliau membaringkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan menegakkan jarinya untuk doa dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya …”. Dikeluarkan oleh An-Nasai 2/586-587 no.1158 dengan sanad yang shohih.

b. Sholat lebih dari dua raka’at seperti sholat Maghrib, Isya, Dhuhur dan Ashar. Sholat seperti ini punya dua tasyahud yaitu tasyahud awal dan tasyahud akhir, maka dia duduk pada tasyahud awal dengan duduk iftirasy dan pada tasyahud akhir dengan duduk tawarruk yaitu menegakkan kaki kanan dan memasukkan kaki kiri di bawah paha dan betis kanan dan pantat sebelah kiri menyentuh langsung ke tempat duduk.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid As-Sa‘idy yang mana beliau menceritakan sifat sholat Nabi r di hadapan sepuluh orang shohabat dan mereka membenarkannya. Hadits Abu Humaid ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory no.794, beliau berkata :

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُ خْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

“Dan apabila beliau duduk pada dua raka’at, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan yang kanan. Kemudian apabila beliau duduk di raka’at terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lainnya dan beliau duduk di atas tempat duduknya”.

Rincian di atas merupakan pendapat Imam Ahmad sebagaimana dalam Masail Ibnu Hany hal.79, Al-Mughny 21/218 dan Majmu 3/430. Dan juga merupakan pendapat Ats-Tsaury, Ishaq dan Ashabu Ar-Ro’y.

Maka kalau seorang makmum masbuk pada sholat yang dua raka’at maka duduknya tiada lain kecuali duduk iftirasy .

Adapun kalau makmum ini masbuk dalam sholat yang lebih dari dua raka’at dan makmum yang masbuk mendapatkan Imam sudah duduk tasyahud terakhir, maka posisi makmum yang masbuk ini tidak lepas dari dua keadaan :

Pertama : Ia masbuk dua raka’at atau lebih.

Kedua : Ia masbuk satu raka’at.

Maka kalau makmum ini masbuk dua raka’at atau lebih maka duduknya adalah duduk iftirasy, sebab Rasulullah r dalam hadits Malik bin Al-Huwairiz riwayat Al-Bukhory no.605 bersabda :

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya sholat”.

Dan dari keterangan yang tersebut di atas Nabi r pada dua raka’at duduknya adalah duduk iftirasy, berarti kalau ia mendapati Imam tasyahud terakhir dengan duduk tawarruk dan makmum ketinggalan dua raka’at atau lebih maka duduknya adalah duduk iftirasy tidak mengikuti Imam.

Adapun kalau makmum ini masbuk satu raka’at maka duduknya adalah duduk tawarruk sama dengan duduk Imamnya sebagaimana cara sholat Nabi r dalam sholat yang lebih dari dua raka’at dalam keterangan yang telah disebutkan diatas. Wallahu A’lam.

Faidah :

Saya pernah mendengar Syaikhuna Al-’Allamah Al-Muhaddits dari negeri Yaman Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’y -rahimahullah- beliau berkata : “Ada sebagian orang berpendapat bahwa kalau seseorang masbuk dua raka’at kemudian ia mendapati Imam duduk tasyahud terakhir maka ia duduk tawarruk seperti duduknya Imam dengan dalil hadits Abu Hurairah Riwayat Bukhory-Muslim :

إِنَّمَا جُعِلَ الإِْ مَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti”.

Lalu Syaikh Muqbil berkata : “Tapi yang nampak bagi saya bahwa si masbuk ini tetap duduk iftirasy“.

Jelaslah bahwa apa yang dijelaskan di atas sesuai dengan fatwa Syaikh Muqbil ini. Hal tersebut disebabkan karena hadits : “Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti” adalah hadits yang umum sedangkan hadits Malik bin Al-Huwariz adalah hadits yang lebih khusus darinya. Maka hadits Malik lebih didahulukan. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.

Oleh : Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Dikutip dari www.an-nashihah. com


Minggu, 13 Maret 2011

Tasyahud Akhir Dalam Shalat Dua Rakaat, Duduknya Tawarruk Atau Iftirasy?

Duduk tawarruk yaitu duduk dengan meletakkan pinggul dilantai dengan mengeluarkan telapak kaki yang kiri (melalui bawah tulang kering kaki kanan) dan menegakkan telapak kaki yang kanan. Atau biasanya kita duduk seperti ini di rakaat terakhir sebelum salam.

Duduk iftirasy yaitu duduk dengan menduduki telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kakinya yang kanan. Atau biasanya kita duduk seperti ini pada tasyahud awal.

Tasyahud Akhir adalah duduk tasyahud setelah sujud yang kedua pada rakaat terakhir dalam suatu shalat. Artinya, duduk sebelum kita melakukan salam.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Humaid As-Sa’idi yang menyebutkan :

Jika duduk dalam raka’at kedua, beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) duduk dengan menduduki telapak kaki kirinya dan mengakkan telapak kakinya yang kanan, sedang jika duduk dalam raka’at terakhir, beliau mengelaurkan telapak kakinya uyang kiri (melalui bawah tulang kering kaki kanan) dan mengakkan telapak kakinya yang kanan, sementara beliau duduk di tempat duduknya (dilantai)” (HR Bukhari)

Baik, sekarang kita masuk ke dalam pembahasan judulnya. Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang kapan duduk tawarruk, apakah ada dalam tasyahud awal atau hanya ada dalam tasyahud akhir.

  • Menurut Mazhab Imam Malik, duduk tawarruk ada dalam tasyahud awal dan tasyahud akhir.[1] Jadi anda jangan heran atau kaget dan gelisah, jika ada orang yang ketika duduk tasyahud awal pada shalat maghrib tetapi dia malah duduk tawarruk. Ada dua kemungkinan, dia menggunakan mazhab Maliki dalam shalatnya atau memang dia lupa.

  • Menurut Mazhab Imam Abu Hanifah, baik dalam tasyahud awal ataupun dalam tasyahud akhir, cara duduknya adalah duduk iftirasy.[2] Jadi jangan heran dan gelisah, ketika ada orang yang ketika duduk dalam tasyahud akhir pada shalat maghrib tetapi dia malah duduk iftirasy. Ada dua kemungkinan, dia menggunakan mazhab Abu Hanifah dalam shalatnya atau memang dia lupa dan tidak sadar.

  • Menurut pendapat Imam Ahmad, setiap shalat yang didalamnya terdapat 2 tasyahud, cara duduknya dalam tasyahud akhir adalah dengan duduk tawarruk, sedang dalam shalat yang didalamnya tidak terdapat 2 tasyahud maka cara duduknya adalah dengan duduk iftirasy.[3]iftirasy, atau duduk seperti duduk tasyahud awal. Kemungkinannya, dia menggunakan pendapat Imam Ahmad tadi. Jadi jangan heran atau sedih ketika anda melihat orang yang shalat shubuh dua rakaat, tetapi dalam tasyahud akhirnya dia malah duduk iftirasy, atau duduk seperti duduk tasyahud awal. Kemungkinannya, dia menggunakan pendapat Imam Ahmad tadi.

  • Menurut pendapat Imam Syafi’i, bahwa dalam tasyahud yang terjadi sebelum salam (baik dalam shalat yang 2,3, maupun 4 rakaat, atau tasyahud akhir), cara duduknya adalah duduk tawarruk, sedang pada tasyahhud yang lain, cara duduknya adalah dengan duduk iftirasy[4]. Dan inilah yang dipahami kebanyakan umat Muslim di Indonesia yang memang sebagian besar menggunakan mazhab Imam Syafi’i dalam shalatnya.

Imam Nawawi berkata dalam Syarhnya 5/84[5]:

Adapun menurut mazhab Syafi’i, adalah duduk iftirasy dalam tasyahud awal dan duduk tawarruk dalam tasyahud akhir; hal ini didasarkan pada Hadits Abu Humaid As-Sa’idi, dan aku telah mendapatkan Hadits ini dalam Shahih Bukhari yang mana hadits ini dengan jelas menerangkan perbedaan cara duduk dalam kedua tasyahud. Imam Syafi’i berkata: ‘Hadits-hadits yang menjelaskan tentang duduk tawarruk atau duduk iftirasy adalah bersifat mutlaq. Didalamnya tidak dijelaskan secara rinci apakah duduk tawarruk atau duduk iftirasy itu dikerjakan dalam kedua tasyahud atau dalam salah satu dari kedunya. Namun Abu Humaid telah menjelaskan hal ini dan ini diperkuat dengan Hadits yang aku temukan bahwa mereka (para sahabat) menyebutkan tentang dikerjakannya duduk iftirasy dalam tasyahud awal dan duduk tawarruk dalam tasyahud akhir. Demikianlah yang dijelaskan (dalam Hadits Abu Humaid). Karenanya, sudah seharusnya bagi kita utuk mengambil kesimpulan dari dalil yang mujmal ini, Wallahu a’lam’”

Dalam hadits lain disebutkan :

Sehingga jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada pada raka’at yang padanya terdapat salam, cara duduk beliau adalah dengan mengeluarkan telapak kakinya yang kiri dan duduk tawarruk dengan pantat dan paha sebelah kiri. “Mereka (Para shahabat Abu Humaid) berkata: “Engkau benar! Memang demikianlah cara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat.” (HR Abu Dawud, Dishahihkan Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/141).[6]

Bahkan menurut pengungkapan dari Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani dalam buku terjemahan dari bahasa Arab karangan beliau yang berjudul “Tata Cara Shalat Nabi (Shalatul Mukmiin) ” halaman 187 terbitan Irsyad Baitus Salam, bahwa beliau pernah mendengar dari Syaikh Bin Baz –rahimahuLlah- berkata sewaktu mensyarahi Ar-Raudh 2/82: “Sunnahnya, adalah duduk tawarruk dalam tasyahud akhir dengan menegakkan telapak kaki kanan, sedang dalam tasyahud awal adalah duduk dengan cara menduduki telapak kaki kiri dan menegakakn telapak kaki kanan.

Sedangkan kita ketahui bahwa yang dinamakan tasyahud akhir adalah duduk sebelum salam, baik shalatnya itu dua rakaat, tiga rakaat maupun empat rakaat. Demikianlah yang afdhal, yakni duduk iftirasy dalam tasyahud awal dan duduk tawarruk dalam tasyahud akhir, dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan yang demikian.[7]

Setelah melihat perbedaan dikalangan ulama Salaf tentang hal ini, maka tidak selayaknya kita mengatakan saudaranya yang lain yang berbeda cara duduknya pada tasyahud akhir dalam shalat dua rakaat sebagai ahlul bid’ah, perlu diketahui, hal itu amat menyakitkan, amat menyakitkan wahai saudaraku…

Indah sekali jika yang ada dalam benak kita seperti apa yang dikatakan Imam Syafi’i, “Pendapatku benar, tetapi masih mungkin mengandung kesalahan, dan pendapat anda salah tapi masih mungkin mengandung kebenaran”. SubhanaLlah..

(Hanif al-Falimbani, Yogyakarta, 15 Maret 2007, 01.16am)


[1] Lihat catatan kaki Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani dalam buku terjemahan dari kitab bahasa Arab karangan beliau yang berjudul “Shalatul Mu’miin / Tata Cara Shalat Nabi (edisi bahasa Indonesia)” halaman 182-183 terbitan Irsyad Baitus Salam cetakan ke-10. (Baca : Zaadul Ma’ad (oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah-red.) 1/243, Syarh Shahih Muslim oleh an-Nawawi 5/84, Nailul Authar (oleh asy-Syaukaniy-red.) 2/54, al-Mughni (Oleh Ibnu Qudamah-red.) 2/225-228.)

[2] Idem.

[3] Idem.

[4] Idem.

[5] Idem.

[6] Ibid, halaman 184.

[7] Ibid, halaman 184-187.

Sabtu, 12 Maret 2011

Basmallah Dibaca Pelan Atau Keras??

Para ulama berselisih pendapat tentang basmallah pada awal surat-surat di dalam al-Qur‘an, apakah termasuk al-Qur‘an dan termasuk surat itu, ataukah tidak?

Yang rajih (lebih kuat) –wallahu a’lam– bahwa basmallah pada awal semua surat di dalam al-Qur‘an termasuk ayat al-Qur‘an, karena telah ditetapkan dan ditulis di dalam mushhaf. Dan umat juga telah sepakat, bahwa semua yang ditulis para sahabat di antara dua sampul mushhaf itu adalah al-Qur‘an.[1]

Dan juga (pendapat yang rajih), bahwa basmalah di awal surat itu tidak termasuk bagian dari surat tersebut, termasuk pada basmalah surat al-Fatihah. Sehingga ayat pertama dalam surat al-Fatihah adalah الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ sedangkan ayat keenam adalah صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, dan ayat ketujuh adalah غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّآلِّيْنَ.

Para ulama juga berselisih, apakah imam mengeraskan basmallah ketika dalam shalat jahriyah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.[2]

Pertama, disunnahkan dibaca pelan. Ini merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, Ali, dan sahabat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, dan ‘Ammar radhiyallâhu'anhum. Juga pendapat al Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Hanabilah dan Ash-habur Ra’yi. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Begitu pula dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, beliau memilih pendapat ini.


Kedua, disunnahkan dibaca keras. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat Imam Syafi’i.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena dalil-dalilnya shahih dan tegas. Adapun pendapat kedua, sebagian dalilnya dha’if, sedangkan yang shahih tidak sharih (tegas) menunjukkan pendapat tersebut.

Berikut ini di antara dalil pendapat pertama :

hadits

Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, dan
Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ.
(HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399;
tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246)


Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullâh mengatakan:

“Amalan ini dilakukan oleh para sahabat nabi radhiyallâhu'anhum, dan para tabi’in setelah mereka. Mereka membuka bacaan dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ. Tetapi (Imam) Syafi’i berkata : ’Makna hadits ini adalah, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman, mereka semua membuka bacaan (shalat) dengan membaca al-Fatihah sebelum surat. Dan maknanya, bukanlah mereka tidak membaca basmallah. (Imam) Syafi’i berpendapat, (imam) memulai dengan basmallah dan mengeraskannya, jika dia mengeraskan bacaan’.”
(Sunan Tirmidzi, no. 246)


Akan tetapi, pendapat Imam Syafi’i rahimahullâh ini terbantahkan dengan riwayat lain, yang menegaskan bahwa mereka itu benar-benar memulai bacaan dengan hamdallah, dan tidak dengan basmallah. Yaitu tambahan yang ada pada riwayat Imam Muslim :

hadits

Dan mereka tidak menyebutkan pada awal bacaan (al Fatihah, Red),
dan tidak pula pada akhir bacaan (al Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, Red)
(HR Muslim, no. 399)

Juga pada riwayat yang lain, lebih tegas lagi disebutkan :

hadits

Dari Anas bin Malik, dia berkata:
“Aku shalat bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
dan bersama Abu Bakar, Umar, ‘Utsman.
Aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca basmallah.”
(HR Muslim, no. 399)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, setelah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar, dan memilih bahwa menurut Sunnah adalah membaca basmallah dengan pelan, beliau rahimahullâh berkata:

“Bersamaan dengan ini, maka yang benar (bacaan) yang tidak dikeraskan. Terkadang disyari’atkan untuk dikeraskan, karena mashlahat yang lebih kuat. Maka terkadang disyari’atkan bagi imam (mengeraskannya, Red) sebagai misal untuk pengajaran kepada makmum. Dan terkadang makmum boleh mengeraskan dengan sedikit kalimat. Seseorang juga boleh meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan hati-hati (manusia) dan menyatukan kalimat, karena takut menjauhnya (manusia) dari hal yang baik”.
(Majmu’ Fatawa, 22/436)

Perlu juga kita pahami, adanya perselisihan dalam masalah ini tidak boleh dibesar-besarkan, yang kemudian dapat menjadi sebab kebencian dan perpecahan umat. Wallahu a’lam.


Kamis, 10 Maret 2011

Inilah Alasan Rasulullah صلى الله عليه وسلم Melarang Ummatnya Minum Sambil Berdiri



عن أنس وقتادة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم ” أنه نهى أن يشرب الرجل قائماً

قال قتادة : فقلنا فالأكل ؟ فقال : ذاك أشر و أخبث

Dari Anas dan Qatadah radhiallaahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri”.

Qotadah berkata: ”Bagaimana dengan makan?” beliau menjawab: “Itu lebih buruk lagi”. (HR. Muslim dan Turmidzi)

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا يشربن أحدكم قائما ، فمن نسي فليستقئ

“Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” (HR. Muslim)

Rahasia Medis

Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani berkata: “Minum dan makan sambil duduk, lebih sehat, lebih selamat, dan lebih sopan, karena apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan pernah sekali minum sambil disfungsi pencernaan. Adapun Rasulullah berdiri, maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat!

Begitu pula makan sambil berjalan, sama sekali tidak sehat, tidak sopan, tidak etis dan tidak pernah dikenal dalam Islam dan kaum muslimin.

Dr. Ibrahim Al-Rawi melihat bahwa manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna. Ini merupkan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat tepenting pada saat makan dan minum. Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, dimana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.

Dr. Al-rawi menekankan bahwa makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus.

Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (Vagal Inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak.

Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus –menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa bebenturan dengan makanan atau minuman yang masuk.

Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer. Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada ‘pos-pos’ penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disaluran ureter. Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya.

Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum.

Oleh karena itu marilah kita kembali hidup sehat dan sopan dengan kembali ke pada adab dan akhlak Islam, jauh dari sikap meniru-niru gaya orang-orang yang tidak mendapat hidayah Islam.

Sumber: Majalah Qiblati edisi 04 tahun II. Judul: Larangan Minum sambil berdiri, Hal 16.

Dari Facebook Pustaka Imam Asy-Syafii