Kamis, 27 Januari 2011

Tawassul yang disyari'atkan dan yang dilarang

Definisi tawassul dan hakikatnya

Secara bahasa, tawassul berarti menjadikan sarana untuk mencapai sesuatu dan mendekatkan diri kepadanya (lihat kitab An-Nihayah fi Ghariibil Hadiitsi wal Atsar, 5/402 dan Lisaanul ‘Arab, 11/724).

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Arti tawassul adalah mengambil wasiilah (sarana) yang menyampaikan kepada tujuan. Asal (makna)nya adalah keinginan (usaha) untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.” (Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin, 79/1).

Maka arti “ber-tawassul kepada Allah” adalah melakukan suatu amalan (shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya (lihat kitab Lisaanul ‘Arab, 11/724).

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan/ sarana untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, serta berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maaidah: 35).

Beliau berkata, “Wasiilah adalah sesuatu yang dijadikan (sebagai sarana) untuk mencapai tujuan.” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).

Inilah hakikat makna tawassul, oleh karena itu Imam Qotadah al-Bashri (beliau adalah Qatadah bin Di’aamah as-Saduusi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409]) menafsirkan ayat di atas dengan ucapannya, “Artinya: dekatkanlah dirimu kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, 2/73).


TAWASSUL YANG DISYARI'ATKAN


Allah berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri KepadaNya." (Al-Maa'idah: 35)

Qatadah berkata, "Dekatkanlah dirimu kepadaNya, dengan keta-'atan dan amal yang membuatNya ridha."

Tawassul yang disyari'atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur'an, diteladankan oleh Rasulullah dan dipraktekkan oleh para sahabat.

Di antara tawassul yang disyari'atkan yaitu:

1. Tawassul dengan iman:

Seperti yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an tentang hamba-Nya yang ber-tawassul dengan iman mereka. Allah berfirman,

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), 'Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu', maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193)

2. Tawassul dengan mengesakan Allah:

Seperti do'a Nabi Yunus Alaihis Salam, ketika ditelan oleh ikan Nun. Allah mengisahkan dalam firmanNya:

"Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, 'Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (Al-Anbiyaa': 87-88)

3. Tawassul dengan Nama-nama Allah:

Sebagaimana tersebut dalam firmanNya,

"Hanya milik Allah Asma'ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu." (Al-A'raaf: 180)

Di antara do'a Rasulullah dengan Nama-namaNya yaitu:

"Aku memohon KepadaMu dengan segala nama yang Engkau miliki." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)

4. Tawassul dengan Sifat-sifat Allah:

Sebagaimana do'a Rasulullah ,

"Wahai Dzat Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan)

5. Tawassul dengan amal shalih:

Seperti shalat, berbakti kepada kedua orang tua, menjaga hak dan amanah, bersedekah, dzikir, membaca Al-Qur'an, shalawat atas Nabi , kecintaan kita kepada beliau dan kepada para sahabatnya, serta amal shalih lainnya.

Dalam kitab Shahih Muslim terdapat riwayat yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu masing-masing ber-tawassul dengan amal shalihnya. Orang pertama ber-tawassul dengan amal shalihnya, berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga ber-tawassul dengan takutnya kepada Allah, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Allah membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, sampai mereka semua selamat.

6. Tawassul dengan meninggalkan maksiat:

Misalnya dengan meninggalkan minum khamr (minum-minuman keras), berzina dan sebagainya dari berbagai hal yang diharamkan. Salah seorang dari mereka yang terperangkap dalam gua, juga ber-tawassul dengan meninggalkan zina, sehingga Allah menghilangkan kesulitan yang dihadapinya.

Adapun umat Islam sekarang, mereka meninggalkan amal shalih dan bertawassul dengannya, lalu menyandarkan diri ber-tawassul dengan amal shalih orang lain yang telah mati. Mereka melanggar petunjuk Rasulullah dan para sahabatnya.

7. Tawassul dengan memohon do'a kepada para nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup.

Tersebutlah dalam riwayat, bahwa seorang buta datang kepada Nabi . Orang itu berkata, "Ya Rasulullah, berdo'alah kepada Allah, agar Dia menyembuhkanku (sehingga bisa melihat kembali)." Rasulullah menjawab, "Jika engkau menghendaki, aku akan berdo'a untukmu, dan jika engkau menghendaki, bersabar adalah lebih baik bagimu." Ia (tetap) berkata, "Do'akanlah." Lalu Rasulullah menyuruhnya berwudhu secara sempurna, lalu shalat dua rakaat, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo'a dengan mengatakan,

"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan (perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar dipenuhiNya untukku. Ya Allah jadikanlah ia pemberi syafa'at kepadaku, dan berilah aku syafa'at (perto-longan) di dalamnya." la berkata, "Laki-laki itu kemudian mela-kukannya, sehingga ia sembuh." (HR. Ahmad, hadits shahih)

Hadits di atas mengandung pengertian bahwa Rasulullah berdo'a untuk laki-laki buta tersebut dalam keadaan beliau masih hidup. Maka Allah mengabulkan do'anya.

Rasulullah memerintahkan orang tersebut agar berdo'a untuk dirinya. Menghadap kepada Allah untuk meminta kepadaNya agar Dia menerima syafa'at NabiNya . Maka Allah pun menerima do'anya.

Do'a ini khusus ketika Nabi masih hidup. Dan tidak mungkin berdo'a dengannya setelah beliau wafat. Sebab para sahabat tidak melakukan hal itu. Juga, orang-orang buta lainnya tidak ada yang mendapatkan manfa'at dengan do'a itu, setelah terjadinya peristiwa tersebut.


TAWASSUL YANG DILARANG

Tawassul yang dilarang adalah tawassul yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam.

Di antara tawassul yang dilarang yaitu:

1. Tawassul dengan orang-orang mati, meminta hajat dan memo-hon pertolongan kepada mereka, sebagaimana banyak kita saksikan pada saat ini.

Mereka menamakan perbuatan tersebut sebagai tawassul, padahal sebenarnya tidak demikian. Sebab tawassul adalah memohon kepada Allah dengan perantara yang disyari'atkan. Seperti dengan perantara iman, amal shalih, Asmaa'ul Husnaa dan sebagainya.

Berdo'a dan memohon kepada orang-orang mati adalah berpaling dari Allah. Ia termasuk syirik besar. Allah berfirman,

"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka se-sungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim". (Yunus: 106)

Orang-orang zhalim dalam ayat di atas berarti orang-orang musyrik.


2. Tawassul dengan kemuliaan Rasulullah . Seperti ucapan mereka, "Wahai Tuhanku, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku." Ini adalah perbuatan bid'ah. Sebab para sahabat tidak melakukan hal tersebut.

Adapun tawassul yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab dengan do'a paman Rasulullah , Al-Abbas adalah semasa ia masih hidup. Dan Umar tidak ber-tawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat.

Sedangkan hadits,

"Bertawassullah kalian dengan kemuliaanku."

Hadits tersebut sama sekali tidak ada sumber aslinya. Demikian menurut Ibnu Taimiyah.

Tawassul bid'ah ini bisa menyebabkan pada kemusyrikan. Yaitu jika ia mempercayai bahwa Allah membutuhkan perantara. Sebagai-mana seorang pemimpin atau penguasa. Sebab dengan demikian ia menyamakan Tuhan dengan makhlukNya.

Abu Hanifah berkata, "Aku benci memohon kepada Allah, dengan selain Allah." Demikian seperti disebutkan dalam kitab Ad-Durrul Mukhtaar.

3. Meminta agar Rasulullah mendo'akan dirinya setelah be-liau wafat, seperti ucapan mereka, "Ya Rasulullah do'akanlah aku", ini tidak diperbolehkan. Sebab para sahabat tidak pernah melakukannya. Juga karena Rasulullah bersabda,

"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo'akan kepada (orang tua)-nya." (HR. Muslim)


Rabu, 19 Januari 2011

Nasehat Untuk Remaja Muslim

Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.

Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?

Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)

Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?

Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.

Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.

Umurmu Tidak Akan Lama Lagi........

Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).

Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.

Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.

“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.

Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:

فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)

Bersegeralah dalam Beramal

Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)

Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.

Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)

Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?

Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.

“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)

Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?

Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)

Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.

Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

Jauhi Perbuatan Maksiat

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.

Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)

Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)

Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.

Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu

Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.

Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)

Akhir Kata

Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.

Sumber: Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418)


Senin, 17 Januari 2011

Al-Masih Versi Yahudi dan Nasrani

Keyakinan akan munculnya Al-Masih di akhir zaman juga diakui Yahudi dan Nasrani. Namun tentu saja keyakinan mereka menyimpang dari kebenaran (Islam) yang kemudian mewujud menjadi kekufuran terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yahudi
Di antara aqidah Yahudi, mereka meyakini kemunculan seseorang yang diklaim bakal mengembalikan kejayaan mereka. Mereka menyebutnya “Al-Masih Al-Muntazhar” yakni Al-Masih yang dinanti. Dalam keyakinan mereka, orang tersebut berasal dari keluarga Nabi Dawud, yang nantinya akan menundukkan umat, memperbudak mereka, dan mengembalikan kejayaan Yahudi. Serta berbagai keyakinan dan harapan yang dibumbui bermacam-macam kedustaan sebagaimana tertera dalam kitab Talmud mereka. Aqidah ini terus mereka yakini hingga saat ini, terbukti dengan tercantumnya hal itu dalam Protokolat Yahudi Zionis. (Dirasat fil Adyan, hal. 265, Badzlul Majhud, 1/227)

Nasrani
Orang-orang Nasrani juga meyakini akan munculnya Al-Masih di akhir zaman meskipun mereka telah meyakini kematiannya. “Injil-injil” mereka menyebut, Isa disalib pada Jum’at dini hari lalu meninggal pada sore harinya setelah menyeru: “Tuhanku, Tuhanku, mengapa engkau biarkan aku?”1 Selanjutnya pada malam itu, diturunkan dari salib dan dimasukkan ke liang kubur malam itu juga serta terus di dalam kubur hingga malam Ahad. Esoknya, pada hari Ahad, ketika orang-orang datang ke kuburannya ternyata kuburnya telah kosong. Dikatakan kepada mereka bahwa ia bangkit dari kuburnya, lantas tinggal bersama mereka selama 40 hari lalu ia terangkat ke langit sementara mereka melihatnya.

Demikian –secara ringkas– “injil-injil” mereka menyebut. Sebuah keyakinan yang pasti bahwa injil-injil mereka telah mereka selewengkan sehingga cerita semacam ini tidak bisa kita percayai. Terlebih yang jelas bertentangan dengan Al-Qur`an, yaitu penyebutan kematian Isa, penyaliban Isa, dan pembunuhan terhadapya.
Dari kisah tadi mereka meyakini akan kembalinya Isa di mana nantinya ia akan menghisab/menghitung amal manusia, membalas mereka, serta mengumpulkan kembali orang-orang Nasrani. (Dirasat fil Adyan hal. 264, 283)

Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan: Tiga umat menyepakati berita akan munculnya Al-Masih pembawa petunjuk dari keluarga Dawud dan Al-Masih pembawa kesesatan. Dan mereka sepakat bahwa Al-Masih pembawa kesesatan belum muncul, tapi akan muncul. Mereka juga sepakat bahwa Al-Masih pembawa petunjuk akan datang. Lalu muslimin dan Nasrani sepakat bahwa Al-Masih pembawa petunjuk adalah Isa bin Maryam, sementara Yahudi mengingkarinya, dengan pengakuan mereka bahwa Al-Masih itu memang dari keturunan Dawud. (Dalam pengingkaran ini, -pent.) mereka beralasan bahwa Al-Masih yang dijanjikan adalah yang seluruh manusia beriman kepadanya. Mereka beranggapan, Al-Masih Isa diutus dengan agama Nasrani padahal nasrani menurut yahudi adalah agama yang jelas salah. Karena itu, ketika muncul Al-Masih Ad-Dajjal mereka (yahudi) pun mengikutinya. Maka keluarlah mengikutinya 70.000 Yahudi Ashbahan2 yang memakai jubah hijau.” (Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dinal Masih, 3/324 dinukil dari kitab Badzlul Majhud, 1/262)

Dari keterangan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu di atas, kita bisa mengambil suatu bantahan terhadap sikap Yahudi, di mana yang mereka sebut Al-Masih Al-Muntazhar itu sejatinya adalah Nabi Isa bin Maryam ‘alaihimassalam. Namun sejak diutusnya, mereka sudah mengingkarinya, bahkan melontarkan tuduhan-tuduhan keji serta tuduhan kekafiran kepada Isa dan kepada ibunya sebagaimana termaktub dalam kitab Talmud mereka3. Sehingga mereka, ketika turunnya Isa nanti di akhir zaman, sudah jelas akan menjadi musuh-musuh utama Nabi Isa karena sejak awal mereka sudah mengingkarinya (yakni nabi Isa sebagai Al-Masih Al-Muntazhar).

Lantas, Al-Masih apa yang dinanti Yahudi dengan segala harapan dan ‘kesabaran’ mereka? Ternyata dia adalah Al-Masih Ad-Dajjal, sang pembawa kesesatan, yang ternyata juga seorang Yahudi. Maka terjadilah peristiwa terbunuhnya Al-Masih Ad-Dajjal pembawa kesesatan oleh Al-Masih Ibnu Maryam, pembawa hidayah. Sebagaimana terjadi pula peperangan antara pengikut masing-masing Al-Masih.

Adapun keyakinan Nasrani, walaupun mereka sepakat dengan muslimin bahwa yang dimaksud adalah Isa bin Maryam, namun pada perincian keyakinan mereka sangat jauh berbeda dan sangat bertolak belakang. Karena orang Nasrani meyakini Isa sebagai Tuhan dan nanti akan menghisab/menghitung amalan manusia serta membalasi amal mereka. Adapun muslimin meyakini bahwa Isa naik sebagai manusia, demikian pula turun sebagai manusia sebagaimana perincian yang telah lewat.

Atas dasar keyakinan mereka itu, mereka sejatinya lebih dekat kepada Al-Masih Ad-Dajjal, karena Dajjal nanti akan mengaku sebagai Tuhan dan akan membawa semacam surga dan neraka, menguji manusia dan membalas mereka. Sehingga bila seorang Nasrani tidak beriman akan ke"manusia"an Al-Masih Ibnu Maryam, tentu ia akan menjadi pengikut Al-Masih Ad-Dajjal.

Di dalam keterangan yang terdapat di dalam Injil sekalipun banyak disebutkan akan ke"manusia"an Al-Masih Ibnu Maryam:

MATIUS 23:8 - "Tetapi janganlah kamu ini dipanggil orang "Guru Besar" karena Satu sahaja Guru kamu kendatipun Kristus, maka kamu sekalian ini bersaudara"

Di sini jelaslah terbukti bahwa Yesus adalah hamba Allah, dan hanya ada satu guru, yaitu Dia adalah Allah (Terjemahan Inggeris lebih terang dari pada saduran dalam bahasa Indonesia).


Jangankan dipanggil dan diberi gelar sebagai TUHAN, disebut: Guru Besar saja Yesus menolak

MATIUS 23:9 - ,,Dan janganlah kamu memanggil "Bapa" akan barang seorang pun di dalam dunia ini, karena Satu sahaja Bapa kamu, yaitu yang ada di surga."

Dari ayat diatas kita dapat mengerti bahwa "bapa dan anak" hanya mengandung maksud akan hubungan Tuhan dan para hambaNya dalam makna umum, dan bukannya hanya bagi Yesus.


Matius 24:36 - "Tetapi akan hari dan ketikanya tiada diketahui oleh seorang juapun, meskipun malaekat yang di surga atau anak itu, melainkan hanya Bapa sahaja."

~ Dengan lain kata, pengetahuan Yesus tidak sempurna seperti halnya dengan lain-lain orang, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui.

Matius 26:39 - "Maka berjalanlah Ia (Yesus) ke hadapan sedikit, lalu sujudlah Ia berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau boleh, biarlah kiranya cawan ini lepas dari padaku ..."

Jelaslah, bahwa Yesus tidak mengetahui kehendak Ilahi, dan kita melihat bahwa beliau adalah seorang hamba Allah saja. Kalau mereka jujur, mereka akan mengetahui bahwa Isa ‘alaihissalam sesungguhnya bukan Tuhan. Bahkan ia adalah seorang hamba yang butuh pertolongan Tuhannya.

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kami memohon keselamatan.

Bulan Safar Bulan Sial ?

Penulis: Redaksi Assalafy.org

Aqidah, 03 Februari 2009, 08:28:18

Banyak orang yang beranggapan bahwa bulan ke-2 dalam kalender hijriyah ini sebagai bulan sial. Yang sangat disesalkan, anggapan tersebut banyak diyakini oleh kaum muslimin juga. Sehingga, karena bulan sial, maka tidak boleh punya hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting pada bulan tersebut, …dsb, karena akan mendatangkan bencana, atau ketidakberhasilan dalam pekerjaan.

Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena adanya peristiwa atau mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan belaka. Itu merupakan keyakinan kufur, menunjukkan dangkal aqidah tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.

Termasuk anggapan bulan Shafar sebagai bulan sial, sebenarnya merupakan warisan dari adat istiadat jahiliyyah para penyembah berhala sekaligus pelaku kesyirikan. Segala keyakinan-keyakinan syirik tersebut telah diberantas oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam dengan agama tauhid yang beliau bawa.

Berikut penjelasan para ‘ulama tauhid dan sunnah tentang permasalahan ini.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa Kerajaan), Saudi ‘Arabia

Pertanyaan : Sungguh kami telah mendengar tentang keyakinan-keyakinan bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya. Kami memohon penjelasan dalam masalah tersebut sesuai bimbingan syari’at islam. Semoga Allah menjaga anda sekalian.

(Fatwa no. 10.775)

Jawab : Keyakinan tersebut, yaitu tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya pada bulan Shafar merupakan salah satu bentuk perbuatan menganggap sial bulan tersebut. Perbuatan menganggap sial bulan-bulan tertentu, hari-hari tertentu, burung atau hewan-hewan tertentu lainnya adalah perbuatan yang tidak boleh. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda :

لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” [HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327)]


Menganggap sial bulan Shafar sekaligus termasuk salah satu jenis tathayyur yang terlarang. Itu termasuk amalan jahiliyyah yang telah dibatalkan (dihapuskan) oleh Islam.

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Anggota : Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan

Wakil Ketua : Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Ketua : Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

(Mufti Umum Kerajaan Saudi ‘Arabia)

Pertanyaan : “Banyak orang berkata bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Sebagian orang awam menganggap sial bulan tersebut dalam banyak perkara. Contohnya mereka meyakini tidak boleh melakukan akad nikah pada bulan tersebut. Demikian sebagian orang meyakini bahwa dalam acara akad nikah tidak boleh mematahkan kayu, atau mengikat tali, atau menyilangkan jari-jemari, karena hal-hal tersebut bisa menyebabkan kesialan pada pernikahan tersebut dan tidak akurnya kedua mempelai.

Karena permasalahan ini sangat terkait dengan aqidah, maka kami memohon nasehat dan penjelasan hukum syar’i.

Semoga Allah memberi taufiq kita semua kepada apa yang Ia cintai dan Ia ridhai.

Jawab : Menganggap sial bulan Shafar termasuk kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu tidak boleh. Bulan (Shafar) tersebut seperti kondisi bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan yang ada terjadi dengan taqdir-Nya. Telah sah riwayat dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau telah membatalkan keyakinan sialnya bulan Shafar tersebut. Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” [HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad (II/327)]

Hadits ini telah disepakati keshahihannya.

Demikian juga menganggap sial perbuatan menyilangkan jari-jemari, atau mematahkan kayu, atau semisalnya ketika akad nikah, merupakan perbuatan yang tidak ada dasarnya, tidak boleh meyakini hal tersebut. Bahkan itu merupakan keyakinan yang batil. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.

(Dipublikasikan di majalah “Ad-Da’wah” edisi 1641, tanggal 18 Muharram 1419 H. tercantum dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXVIII/356-357)

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=316#more-316, judul asli "BULAN SHAFAR BULAN SIAL??")

Sabtu, 08 Januari 2011

Hikmah Turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam

Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc

Orang yang beriman niscaya meyakini bahwa setiap peristiwa diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan suatu hikmah. Tak terkecuali turunnya nabi Isa ‘alaihissalam ke muka bumi pada akhir zaman nanti. Meski tentunya, dengan keterbatasan sebagai manusia, kita hanya bisa mengungkap sebagian saja hikmah di balik peristiwa tersebut.

Peristiwa besar turunnya Isa ke bumi memiliki hikmah yang amat besar. Para ulama semisal Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari menyebutkan beberapa hikmah dari turunnya Isa ‘alaihissalam di akhir zaman. Di antara hikmah yang terpenting:
  1. Membantah klaim Yahudi bahwa merekalah yang membunuh Isa, menyalibnya, dan anggapan bahwa yang disalib adalah orang terlaknat. Dengan turunnya Isa, kenyataan justru membuktikan bahwa Nabi Isa-lah yang membunuh Yahudi sekaligus pemimpin mereka yakni Dajjal, sebagaimana akan disinggung nanti.
  2. Membantah orang-orang Nasrani yang menuhankan Isa, menolak agama Islam, mengagungkan salib, dan menghalalkan babi. Di mana nantinya justru Nabi Isa mengajak kepada Islam, memerangi orang agar masuk Islam, berhukum dengan syariat Islam, tidak menerima dari ahlul kitab kecuali Islam, tidak lagi menerima jizyah, salib akan ia hancurkan dan babi akan ia bunuh. Pada akhirnya ia akan wafat sebagaimana manusia biasa, bukan Tuhan atau anak Tuhan, atau salah satu dari Tuhan yang tiga.
Sifat Turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam dan Pembunuhannya Terhadap Dajjal

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan dalam haditsnya: “(Lalu Dajjal datang ke gunung Iliya, sehingga ia mengepung sekelompok dari kaum muslimin). (Maka kaum muslimin diliputi rasa takut yang sangat), (sehingga orang-orang lari dari Dajjal menuju gunung-gunung).” Ummu Syuraik mengatakan: “Wahai Rasulllah, di mana orang-orang Arab ketika itu?” Beliau menjawab: “Mereka ketika itu sedikit dan imam mereka seorang lelaki shalih.” [Rasulullah mengatakan: “Al-Mahdi dari kami, ahlul bait (dari anak keturunan Fathimah).”] (Allah menyiapkannya dalam waktu semalam) (namanya sesuai dengan namaku, dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku) (dahinya lebar dan hidungnya mancung), (ia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kecurangan dan kezhaliman), (ia berkuasa selama tujuh tahun).”
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kelompok dari umatku yang Allah lindungi mereka dari neraka. Satu kelompok memerangi India dan satu kelompok bersama Isa bin Maryam.”

Beliau juga mengatakan: ”Barangsiapa di antara kalian yang mendapati Isa, sampaikanlah salam dariku. Maka tatkala imam mereka hendak maju untuk mengimami mereka shalat Shubuh, tiba-tiba turun kepada mereka (dari langit) Isa bin Maryam di manaratul baidha (menara putih), sebelah timur Damaskus1 di antara dua pakaian yang dicelup dengan wewangian Za’faran. Ia letakkan dua telapak tangannya di atas sayap-sayap malaikat. Bila ia menganggukkan kepalanya, maka menetes. Dan bila ia angkat berjatuhan darinya butir-butir perak layaknya permata. Sehingga tidak halal bagi seorang kafir yang mendapati desah nafasnya kecuali ia akan mati, padahal desah nafasnya berakhir sejauh pandangannya2. Tidak ada antara aku dengan dia nabi –yakni Isa– dan ia pasti turun. Dan bila kalian melihatnya maka ketahuilah dia seorang lelaki yang tingginya sedang, agak merah dan putih, antara dua pakaian yang berwarna agak kuning, seakan-akan kepalanya meneteskan air, walaupun tidak basah, lalu ia memerangi manusia agar masuk Islam, menghancurkan salib, membunuh babi, menghilangkan jizyah, dan pada masanya Allah hancurkan agama-agama seluruhnya kecuali Islam.” Dan beliau bersabda: “Bagaimana kalian bila putra Maryam turun di tengah-tengah kalian sedang imam kalian (dalam riwayat lain: dan ia mengimami kalian) dari kalian?” Ibnu Abi Dzi`b (salah seorang rawi hadits, pent.) mengatakan (kepada Al-Walid bin Muslim, rawi hadits yang lain, pent.): “Kamu tahu apa maksudnya ‘ia mengimami kalian dari kalian?’ Aku katakan: ‘Kamu beritahukan kepadaku?’ Ibnu Abi Dzi`b menjawab: ‘Ia memimpin kalian dengan kitab Rabb kalian dan Sunnah Nabi kalian’.”

Maka imam tersebut berjalan mundur agar Isa maju. (Lalu dia katakan: “Kemarilah, imamilah kami”). Maka Nabi Isa meletakkan tangannya di antara dua pundaknya dan mengatakan kepadanya: (“Tidak, sesungguhnya sebagian kalian pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai kemuliaan Allah atas umat ini”). Maka imam tersebut maju dan imam mereka tetap shalat bersama mereka. (Kemudian datanglah Dajjal ke gunung Iliya, sehingga ia mengepung sekelompok kaum muslimin. Maka pemimpin mereka mengatakan: “Apa yang kalian tunggu dari thaghut ini kecuali kalian perangi dia sehingga kalian bertemu Allah, atau kalian diberi kemenangan.” Mereka pun berencana memeranginya jika mereka masuk waktu pagi.) (Tatkala mereka menyiapkan untuk berperang dan meluruskan shaf-shaf, lalu dikumandangkan iqamat shalat) (subuh). Pada waktu itu mereka bersama dengan Isa bin Maryam), (sehingga Isa mengimami mereka, maka bila ia angkat kepalanya dari ruku’nya mengatakan: “Sami’allahu liman hamidah, (semoga Allah bunuh Al-Masih Ad-Dajjal dan kaum muslimin menang).” Begitu selesai shalat, ia mengatakan: “Bukalah pintu,” sehingga pintu dibuka dan Dajjal melihat beliau. Bersama dia ada 70.000 orang Yahudi. Semuanya memiliki pedang yang berhias dan jubah hijau3, (lalu Isa mengejarnya) (sehingga ia pergi dengan tombaknya menuju Dajjal.) Sehingga bila Dajjal melihatnya, ia meleleh sebagaimana melelehnya garam di dalam air. (Seandainya beliau biarkan, tentu ia akan meleleh terus sampai mati. Akan tetapi Allah membunuh Dajjal dengan tangan Isa, sehingga Ia perlihatkan darahnya di tombaknya.) Ia tangkap Dajjal di Bab (pintu) Ludd sebelah timur, sehingga Isa membunuh dia. Maka Allah membinasakan Dajjal di Aqabah (tempat mendaki yang susah) Afyaq). Allah kalahkan Yahudi dan (kaum muslimin menguasai mereka) (dan membunuh mereka) sehingga tidak ada sesuatu pun dari apa yang Allah ciptakan yang dipakai sembunyi orang Yahudi kecuali Allah berikan kepadanya kemampuan untuk bicara baik itu batu, pohon, tembok, atau binatang –kecuali pohon gharqad, karena itu adalah pohon mereka, ia tidak bicara– kecuali akan mengatakan: “Wahai hamba Allah muslim, ini Yahudi di belakangku. Kemari, bunuhlah dia.” Kemudian tetaplah manusia setelahnya selama tujuh tahun, tidak ada permusuhan antara dua orang … Lalu Allah utus Ya`juj dan Ma`juj….”4

Kondisi Alam di Masa Turunnya Isa

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala binasakan kaum Ya`juj dan Ma`juj, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan: “Lalu Allah mengirim hujan. Tidak dapat menghindar darinya satu rumah pun, rumah dari tanah liat maupun dari bulu5. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala membasuh bumi ini sampai menjadi seperti cermin. Lalu diperintahkan kepada bumi: “Tumbuhkan buah-buahanmu dan kembalikanlah keberkahanmu.” Sehingga pada masa itu sekumpulan manusia cukup memakan satu buah delima dan mereka dapat bernaung dari kulitnya, serta diberkahi susu mereka. Sampai-sampai satu ekor onta betina yang banyak susunya mencukupi sekian kabilah manusia. Satu sapi betina yang banyak susunya mencukupi satu kabilah. Satu ekor kambing betina yang banyak susunya mencukupi 1 kabilah kecil6, dan satu sapi jantan harganya sekian dari harta, serta satu ekor kuda hanya beberapa dirham.

(Nabi bersabda: “Sangat beruntung kehidupan setelah turunnya Al-Masih. Sangat beruntung kehidupan setelah Al-Masih. Langit diberi ijin untuk menurunkan hujan. Bumi diberi ijin untuk menumbuhkan tumbuhan, sampai seandainya engkau tabur biji di batu yang halus niscaya akan tumbuh. Dan tidak ada kekikiran. Tidak ada kedengkian, dan kebencian), serta setiap binatang yang berbisa dihilangkan bisanya, (dan terwujudlah keamanan di muka bumi. Sehingga harimau-harimau dapat bergembala bersama onta. Macan bersama sapi. Dan serigala bersama kambing. Bahkan anak-anak bermain ular dan tidak membahayakan mereka7, sampai-sampai bayi memasukkan tangan kepada ular dan tidak menggigitnya. Dan bayi perempuan membuka mulut harimau untuk melihat giginya, namun harimau itu tidak mencelakainya. Dan serigala berada di tengah-tengah kambing seolah-olah ia sebagai anjing penjaganya. Bumi dipenuhi kedamaian seperti dipenuhinya bejana dengan air. Kata-kata mereka satu (sepakat) sehingga tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Peperangan meletakkan bebannya, bangsa Quraisy mengambil kerajaannya, (lalu dikatakan: ‘Bumi menjadi semacam bejana yang terbuat dari perak (yakni hidangan) yang mengeluarkan tumbuhan, tumbuhannya sama di masa Adam’).”

Masa Tinggalnya

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: (Lalu Isa tinggal di bumi selama 40 tahun. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan beliau. Kaum muslimin kemudian menyalatinya)8. Dalam keadaan seperti itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus angin (yang dingin dari arah Syam) sehingga menerpa mereka dari bawah ketiak-ketiak mereka dan mencabut roh setiap mukmin dan muslim.9 (Dalam hadits Ibnu ‘Amr: “Tidak tersisa lagi di muka bumi seorang pun yang terdapat dalam qalbunya seberat semut dari keimanan kecuali angin itu mencabutnya, walaupun seseorang di antara mereka berada pada tengah-tengah gunung, tentu angin itu akan menerpanya), dan tersisalah sejelek-jelek manusia….

Perhatian:
Terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa masa tinggalnya adalah tujuh tahun seperti dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma (bab Dzikru Ad-Dajjal).
Untuk mengompromikan dua riwayat itu, maka disimpulkan bahwa tujuh tahun itu adalah masa tinggalnya setelah turunnya, sedang umurnya saat diangkat ke langit adalah 33 tahun menurut pendapat yang masyhur. (Asyrathus Sa’ah hal. 364)
Wallahu a’lam bish shawab.

Footnote :
  1. Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Sebelah timur masjid Jami’ Damaskus.” (An-Nihayah fil Fitan wal Malahim)
  2. Shahih, HR. Muslim dan yang lain, lihat Qishshatul Masihiddajjal wa Nuzul ‘Isa hal. 10.
  3. Lihat An-Nihayah, 2/432.
  4. Susunan kisah ini kami nukil dari buku Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul ‘Isa karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, di mana beliau pilih hadits-hadits yang shahih, lalu beliau gabungkan dan susun masing-masing sesuai pada tempatnya. Sehingga bagi yang hendak memeriksa sumber-sumbernya dalam literatur hadits, silahkan merujuk kepada buku tersebut.
  5. Rumah dari tanah maksudnya adalah rumah orang-orang yang menetap, di mana rumahnya permanen. Sedangkan rumah dari bulu adalah rumah orang-orang padang pasir. Penghidupan mereka dari gembalaan. Mereka membuat rumah dari bulu-bulu onta, kelinci, kambing, dan semacamnya.
  6. Shahih, HR. Muslim dan yang lain. Lihat Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 10.
  7. Shahih, HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lain. Lihat Ash-Shahihah no. 2182, Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 31.
  8. Shahih, HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban, dan yang lain. Lihat Ash-Shahihah no. 2182, Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 31.
  9. 9 Shahih, HR. Muslim dan yang lain. Lihat Qishshatul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 10

(Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=554)

Kamis, 06 Januari 2011

Wajah Buruk Yahudi

Penulis: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Potret Yahudi, di mata umat Islam, memang demikian kelam. Sejak jaman baheula (dahulu) hingga kini, kejahatan dan keculasannya teramat sulit untuk dilupakan. Saking banyaknya, bisa jadi daftar riwayat kekejiannya bakal memenuhi lemari sejarah.


Orang-orang Yahudi memandang bahwa mereka adalah umat pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka merasa diistimewakan dan dilebihkan atas seluruh umat pada zamannya, yaitu semasa Nabi Musa ‘alaihissalam.
Disebutkan oleh Abul Fida` Ismail Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsir-nya, bahwa dilebihkannya mereka atas umat-umat yang lalu pada masanya, yaitu dengan dikaruniai keutamaan diutusnya para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan mereka, diturunkan kitab-kitab suci kepada mereka, dan diberinya mereka kerajaan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan keutamaan yang telah diberikan kepada mereka:
يَا بَنِي إِسْرَائِيْلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِيْنَ
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.” (Al-Baqarah: 47)
Kata al-yahudu (الْيَهُودُ), menurut Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab, secara etimologi berasal dari kata hadu (هَادُوا) yang bermakna mereka telah bertaubat. Sepadan dengan itu, Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsir-nya mengungkapkan pula bahwa al-yahud adalah para pengikut Musa ‘alaihissalam. Mereka adalah orang-orang yang berhukum pada Taurat di zamannya. Kata al-yahud itu sendiri adalah at-tahawwudu (التَّهَوُّدُ) yang memiliki makna at-taubah. Sebagaimana Musa ‘alaihissalam berkata:
إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ
“Sungguh kami telah bertaubat kepada-Mu.” (Al-A’raf: 156)
Maka, penamaan mereka dengan al-yahud lantaran sikap taubat mereka. Adapun secara nasab, mereka digariskan kepada anak keturunan Ya’qub ‘alaihissalam.

Al-Qur`an sendiri banyak membongkar keculasan watak Yahudi. Walau mereka telah mendapatkan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun karunia tersebut tidak disyukuri sebagaimana mestinya. Bahkan mereka menunjukkan sikap pembangkangan, arogan, dan durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka semestinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala namun justru menjadikan ‘Uzair sebagai anak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lihatlah, bagaimana mereka berpaling dari apa yang mereka janjikan untuk bertauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka kedok watak mereka yang sebenarnya:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيْلَ لاَ تَعْبُدُوْنَ إِلاَّ اللهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَقُوْلُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيْلاً مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُوْنَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat. Lantas kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu berpaling.” (Al-Baqarah: 83)
Kemudian, nyata sekali kebatilan agama Yahudi setelah mereka menjadikan ‘Uzair sebagai anak Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan Al-Masih sebagai anak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُوْنَ
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’. Dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al-Masih putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka bisa berpaling.” (At-Taubah: 30)
Tak cuma itu. Mereka pun melakukan penyimpangan tauhid dengan menjadikan para ulama (al-ahbar) dan orang-orang ahli ibadah (ar-ruhban) sebagai sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (mereka juga mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya diperintah menyembah Ilah yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)
Menjelaskan ayat di atas, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan menyatakan, bahwa para alim dan ahli ibadah tersebut merupakan kalangan Yahudi dan Nashara. Yahudi dan Nashara telah menjadikan para ulama dan orang-orang ahli ibadah dari kalangan mereka sebagai tuhan (sesembahan) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 120)

Termasuk yang menyebabkan mereka menjadi musuh Islam, adalah sikap Yahudi yang gemar mengubah ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti disebutkan Ibnu Katsir rahimahullahu saat memberi penafsiran terhadap ayat:
وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُوْنَ لِقَوْمٍ آخَرِيْنَ لَمْ يَأْتُوْكَ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ
“Dan di antara orang-orang Yahudi amat suka mendengar (perkataan/berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum datang kepadamu. Mereka mengubah-ubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya…” (Al-Ma`idah: 41)

Maka kata Ibnu Katsir rahimahullahu, bahwa yang dimaksud orang-orang Yahudi adalah mereka yang merupakan musuh-musuh Islam dan pemeluknya secara menyeluruh. Mereka mengubah-ubah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menafsirkannya dengan tafsir yang bukan sebagaimana dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sisi lain, kaum Yahudi pun melakukan penolakan terhadap Al-Qur`an. Ketika mereka diperintahkan untuk beriman kepada Al-Qur`an, mereka melakukan tindak pembangkangan dan arogansi secara menantang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُوْنَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُوْنَ أَنْبِيَاءَ اللهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kepada Al-Qur`an yang diturunkan Allah’, mereka berkata: ‘Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami’. Dan mereka kafir kepada Al-Qur`an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al-Qur`an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: ‘Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?’.” (Al-Baqarah: 91)
Mereka tak hendak memancangkan keimanan di dalam hati mereka terhadap Al-Qur`an. Mereka sekedar mencukupkan diri sebatas pada Taurat dan Injil. Padahal Al-Qur`an telah mencakup dan membenarkan kitab-kitab yang datang sebelumnya, termasuk Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Inilah bentuk kesombongan Yahudi. Pantas bila kemudian mereka mendapat laknat disebabkan sikap-sikap mereka yang tidak mau beriman dan bersikap melampaui batas:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 78)
Selain itu, mereka termasuk pula orang-orang yang mendapat murka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلاَّ بِحَبْلٍ مِنَ اللهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah.” (Ali ‘Imran: 112)
... وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ ...
“…dan mereka mendapat kemurkaan dari Allah…” (Al-Baqarah: 61)
فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ ...
“Dan mereka mendapat murka setelah kemurkaan…” (Al-Baqarah: 90)

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu saat menerangkan ayat-ayat di atas, bahwa (ayat-ayat tersebut) ini merupakan penjelas bahwasanya al-yahud dimurkai atas mereka. (Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim, hal. 117)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, dalam menjelaskan Yahudi sebagai kaum yang dimurkai, mengutip pula hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu. Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullahu. Disebutkan dalam hadits tersebut:
فَإِنَّ الْيَهُوْدَ مَغْضُوْبٌ عَلَيْهِمْ، وَإِنَّ النَّصَارَى ضَلاَّلٌ
“Sesungguhnya Yahudi dimurkai atas mereka, dan sesungguhnya Nashara adalah orang-orang yang sesat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2953)
Itulah sosok Yahudi. Digambarkan secara transparan melalui Al-Qur`an dan As-Sunnah. Walau mereka telah memahami apa yang termaktub dalam kitab mereka, namun mata hati mereka tumpul untuk menerima kebenaran. Tak kalah sengitnya adalah sikap permusuhan mereka terhadap kaum muslimin. Permusuhan yang dilandasi keinginan mereka untuk menyatukan millah (nilai syariat) sesuai dengan yang mereka kehendaki.
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيْرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada Rasul-Nya, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani itu tidak akan pernah ridha (senang) kepadanya kecuali setelah mengikuti agama mereka. Karena sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang gencar menyeru (mengajak) orang-orang agar masuk ke dalam agama mereka. (Lihat Taisir Al-Karimi Ar-Rahman fi Tafsiri Kalam Al-Mannan karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di v dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 120)
Dipertegas oleh Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu, bahwa seandainya engkau memberi apa yang mereka minta, mereka tetap saja belum senang kepadamu. Sesungguhnya, mereka akan merasa senang kala dirimu mau meninggalkan Islam dan mengikuti (agama) mereka. (Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur`an, 2/507)

Mencermati pernyataan para ulama di atas, memberi asupan berupa peringatan betapa kerasnya tekad kaum Yahudi dan Nasrani untuk menggaet kaum muslimin keluar dari agamanya. Penjelasan para ulama di atas tentu saja tidak bisa hanya diperhatikan dengan memicingkan sebelah mata. Karena pergulatan dakwah di dunia nyata, pemurtadan terhadap kaum muslimin demikian marak.

Ini merupakan bukti bahwa permusuhan yang mereka lancarkan kepada kaum muslimin bukan sekedar faktor perebutan kekuasaan atau masalah kepemilikan atas status wilayah, namun lebih dari itu lantaran masalah agama.

Pendudukan wilayah Palestina oleh Yahudi bukan sekedar orang-orang Yahudi membutuhkan tempat untuk tinggal. Namun perjuangan mereka untuk merebut tanah Palestina adalah lantaran dilandasi idealisme keagamaan. Maka gambaran-gambaran yang telah dipaparkan dalam tulisan ini hanya sebagian kecil dari yang bisa ditampilkan untuk melihat wajah buruk Yahudi.

Bercokolnya negara Israel di wilayah Palestina merupakan salah satu “permainan” tingkat global yang dipertontonkan kaum Yahudi. Aksi-aksinya yang sistematis dan didukung lobi zionis menjadikan daya gigit mereka terhadap musuh-musuhnya terasa lebih ampuh.
Tapi, benarkah mereka kokoh? Tidak. Mereka lemah, karena menjadikan pelindung (penolong) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kekuatan yang mereka susun tak ubahnya bak sarang laba-laba. Walau nampak rapi tersistem, namun senyatanya lemah sekali. Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba.
مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوا مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabut: 41)

Tapi, kenapa kaum muslimin tetap tak berdaya menghadapi mereka? Ya, karena kaum muslimin masih carut marut. Masing-masing berjalan dengan pemahaman dan pikirannya sendiri-sendiri. Ada yang berjuang dan memiliki militansi yang tinggi, ternyata mereka berpaham Khawarij. Ada yang mencoba lebih lembut, berupaya menampilkan citra Islam yang damai dan sejuk, sehingga mengedepankan penataan spiritualitas, ternyata mereka penganut Sufi. Ada yang nampak cerdas, seakan mampu mengolah akal, ternyata mereka teracuni pemahaman Mu’tazilah. Ada yang berdakwah dengan menggiring penganutnya cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahlu baitnya, ternyata mereka berbendera Syi’ah Rafidhah.

Maka, untuk membingkai kembali bangunan kaum muslimin sehingga tertata secara baik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi sebagaimana tergambar dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma. Kata beliau, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian terlibat jual beli ‘inah, kalian telah mengambil ekor-ekor sapi, kalian merasa senang dengan pertanian, dan kalian telah tinggalkan jihad, maka Allah akan timpakan atas kalian kehinaan. Tidak akan dicabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (Sunan Abi Dawud, no. 3458, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 11)

Kembali kepada agama dengan pemahaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya radhiyallahu 'anhum. Memahami agama sebagaimana para salafush shalih telah memahaminya.
Menukil apa yang dinyatakan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu, bahwa ittiba’ (mengikuti) syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersabar dalam mengikutinya merupakan salah satu sebab turunnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang-orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kaki-kaki kalian.” (Muhammad: 7) Ini semisal dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma: احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ “Jagalah (agama) Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah (agama) Allah, niscaya Allah akan di depanmu.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2516. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 7957)

Barangsiapa menjaga Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan menjaga agamanya, beristiqamah di atasnya, saling menasihati dengan kebenaran dan bersabar atasnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong, meneguhkan, dan menjaga dia dari berbagai tipu daya. (Asbabu Nashrillah lil Mu`minin ‘ala A’da`ihim, hal. 7)
Demikianlah bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dalam menghadapi tipu daya musuh-musuh Islam. Betapa pun segenap kekuatan telah dimiliki, namun pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap diharapkan.
Wallahu a’lam.

http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=482