Minggu, 17 April 2011

Bermula dari Pengkafiran, Berujung Pengeboman

(Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)

Kehormatan seorang Muslim sangat mulia di sisi Allâh Ta'âla. Oleh karena itu, tidak boleh merusak kehormatan seorang Muslim dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syari’at, seperti menuduh dan menghukumi kafir terhadap seseorang yang zhahirnya Muslim tanpa kaedah-kaedah yang benar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata:

“Tidak seorang pun berhak mengkafirkan seseorang dari kaum Muslimin, meskipun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumen) kepadanya dan dijelaskan jalan yang benar. Karena orang yang keislamannya telah diketahui secara yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya hanya dengan keraguan. Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (kesamaran)”.[1]


Bahaya Pengkafiran Tanpa Kaidah Yang Benar

Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullâh menjelaskan bahaya mengkafirkan seorang Muslim dengan tanpa kaidah yang benar, dengan mengatakan:

“Tidak boleh bersikap meremehkan (sembrono) dalam menghukumi kafir atau fasiq terhadap seorang Muslim, karena dalam perkara itu terdapat dua bahaya yang besar.

Pertama: Membuat kedustaan terhadap Allâh Ta'âla dalam penetapan hukum, dan terhadap orang yang dihukumi (kafir) melalui predikat yang dilontarkan kepadanya."

Larangan tentang hal ini banyak sekali, antara lain firman Allâh Ta'âla :

(Qs al-An’âm/6:144)

"Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allâh untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim."

(Qs al-An’âm/6:144)

Dan ayat-ayat lain yang melarang berbicara atas nama Allâh Ta'âla tanpa ilmu."

Kemudian Syaikh al-’Utsaimin rahimahullâh mengatakan:

“Kedua: Terjatuh ke dalam perkara yang dia tuduhkan kepada saudaranya tersebut, jika saudaranya tidak seperti apa yang dia tuduhkan."

Dalam Shahîh Muslim, ‘Abdullâh bin Umar radhiyallâhu'anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:

hadits

"Jika seseorang mengkafirkan saudaranya (se-iman), maka sesungguhnya mengenai salah satu dari keduanya."
(HR Muslim)

Dalam riwayat lain:

hadits
"Jika memang dia seperti yang dikatakan. Jika tidak, perkataan itu kembali kepada orang yang berkata."
(HR Muslim)

Juga sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dari Abu Dzar radhiyallâhu'anhu, beliau bersabda:

hadits
"Barangsiapa memanggil orang lain dengan kekafiran atau dia berkata “Hai musuh Allâh”, padahal tidak benar, maka hal itu kembali padanya”.[2]

Sejarah Pengkafiran Di Zaman Ini

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi berkata:

“Kita meyakini bahwa permasalahan ‘pengkafiran’ -pada fase-fasenya yang akhir- di zaman kita ini, awal muncul keburukannya mulai dari dalam penjara-penjara Mesir pada tahun enam puluhan Masehi –sekitar empat puluh tahun yang lalu- dari sebagian para pemikir harakah-harakah (para sastrawan) yang mengkafirkan masyarakat secara umum dan menghukumi mereka murtad.

Sehingga diriwayatkan, dari sebagian mereka itu ada yang mengatakan:

‘Aku tidak mengetahui seorang Muslim-pun di atas bumi ini selain diriku, dan seorang yang lain di India selatan!!!’.

Kemudian pada pertengahan tahun tujuh puluhan Masehi, sikap ekstrim pelakunya semakin bertambah menyimpang dan semakin tajam. Selanjutnya kami telah melihat orang yang mengkafirkan semua manusia seluruhnya. Dia tidak mengecualikan selain orang yang berbai’at kepada syaikh (gurunya) dan imam jama’ahnya (organisasinya)!!

Mereka itu sendiri (berpecah belah) menjadi banyak jama’ah dan bai’at!!

Pada tahun delapan puluhan Masehi, fitnah (baca: musibah) mereka mengendor sedikit. Selanjutnya kami melihat orang yang membatasi pengkafiran hanya kepada pemerintah-pemerintah dan sistem-sistem, mulai dari pemimpin negara, lalu wakilnya, menteri-menterinya, sampai pasukannya dan tentaranya!!
Kelompok yang terakhir ini juga (di dalamnya) terdapat beberapa tingkatan: * Sebagian mereka mengkafirkan pemimpin negara dan wakilnya saja! * Sebagian mereka ada yang menggabungkan -selain di atas- menteri-menterinya juga! * Sebagian mereka ada yang menambahkan anggota parlemen! * Dan seterusnya.

Mereka saling berselisih dan pendapat mereka saling kontradiksi; bahkan kami telah melihat sebagian mereka memvonis sesat kepada sebagian yang lainnya dan menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan yang sangat keji.

Bahkan, banyak di antara mereka yang mengkafirkan dan menghukumi murtad kelompok dan jama‘ah yang menyelisihi mereka.

Seandainya kita memperhatikan secara mendalam, niscaya kita akan melihat bahwa akar masalah perselisihan mereka adalah ‘berhukum dengan selain hukum yang Allâh Ta'âla turunkan’.

Maka, bagaimana jika keadaan itu sampai kepada kenyataan berupa keburukan dan kezhaliman. Dari mulai takfîr (pengkafiran) menjadi revolusi, kemudian pemberontakan dan pengeboman, sehingga menjerumuskan umat ini ke dalam ujian yang sangat berat dan cobaan yang sangat buruk.

Para Ulama kita (Hai'ah Kibaril ‘Ulama) yang dipimpin oleh yang mulia Ustadz kita al-’Allâmah al-Imam Syaikh `Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh -semoga Allâh Ta'âla menjaga mereka yang masih hidup untuk kebaikan umat ini dan merahmati mereka yang sudah wafat- telah menyadari bahaya yang sedang menyelimuti dan terjadi ini, bahaya yang menjalar dan menyusup, mulai dari pengkafiran sampai pengeboman. Mereka menulis penjelasan yang agung untuk memperingatkan umat dari bencana ini dan menjauhkan orang dari pelakunya, yaitu orang-orang yang tidak lurus.

Penjelasan tersebut disebarkan di Majalah al-Buhûts al-Islâmiyah, no. 56, bulan Shafar, th. 1420 H, namun tertahan, tidak menyebar (di tengah masyarakat).”[3]

Pengkafiran Lalu Pengeboman

Pengkafiran terhadap seorang Muslim mengakibatkan perkara-perkara yang berbahaya, seperti menghalalkan darah dan harta, mencegah warisan, batalnya pernikahan, dan lainnya dari akibat-akibat kemurtadan. Untuk itu, seorang Mukmin tidak boleh menghukumi kafir kepada seorang Muslim lainnya hanya karena sedikit syubhat (kesamaran). Jika pengkafiran yang ditujukan kepada individu-individu mengandung bahaya yang besar, lantas bagaimana jika ditujukan kepada pemerintah-pemerintah Muslim? Tentu bahayanya jauh lebih besar! Karena pengkafiran seperti ini akan membuahkan sikap membangkang kepada ulil amri, pemberontakan bersenjata, menyebarkan kekacauan, menumpahkan darah, dan kerusakan manusia dan negara.

Oleh karena itu, Hai’ah Kibaril ‘Ulama (Komisi Ulama Besar) di Kerajaan Saudi Arabia mengisyaratkan adanya hubungan erat antara fenomena pengeboman yang terjadi di berbagai negara Islam dengan pengkafiran. Hai’ah Kibaril ‘Ulama menjelaskan:

“Sesungguhnya Majlis Hai’ah Kibaril ‘Ulama pada pertemuannya ke-49 di kota Thaif, mulai tanggal 2/4/1419 H, telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negara-negara Islam –dan lainnya– yang berupa takfîr (fenomena pengkafiran) dan tafjîr (pengeboman), dan akibat-akibat buruknya yang berupa penumpahan darah dan penghancuran bangunan-bangunan”.[4]

Poin-poin penjelasan Hai’ah Kibaril ‘Ulama ini adalah sebagai berikut:

  1. Takfîr (menghukumi kafir) adalah hukum syari’at, tempat kembalinya adalah kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlîl (menghalalkan), tahrîm (mengharamkan), dan îjâb (mewajibkan) –dikembalikan kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya–, demikian pula takfîr.
  2. Apa yang muncul dari keyakinan yang salah ini (yaitu tergesa-gesa menjatuhkan vonis kafir), yang berupa penghalalan darah, pelanggaran kehormatan, perampasan harta khusus dan umum, pengeboman rumah-rumah dan kendaraan-kendaraan, serta pengrusakan bangunan-bangunan; semua perbuatan ini dan yang semacamnya diharamkan secara syari’at berdasarkan ijmâ’ kaum Muslimin.
  3. Ketika Majlis Hai’ah Kibaril ‘Ulama menjelaskan tentang hukum takfîr kepada manusia dengan tanpa bukti dari Kitab Allâh Ta'âla dan Sunnah Rasul-Nya shallallâhu 'alaihi wasallam, serta menjelaskan bahwa melontarkan tuduhan kekafiran termasuk perbuatan dosa dan menyebabkan berbagai keburukan, maka sesungguhnya Majlis menegaskan bahwa agama Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini. Dan apa yang terjadi di sebagian negara berupa penumpahan darah orang yang tidak bersalah, pengeboman rumah-rumah, kendaraan-kendaraan, serta fasilitas-fasilitas umum, serta pengrusakan bangunan-bangunan, itu adalah kejahatan, dan agama Islam berlepas diri darinya.
  4. Demikian pula semua Muslim yang beriman kepada Allâh Ta'âla dan hari Akhir, mereka berlepas diri darinya. Itu hanyalah tindakan orang yang memiliki pemikiran menyimpang dan akidah yang sesat, dan merekalah yang akan menanggung dosa dan kejahatannya. Perbuatan mereka tidak boleh dikaitkan dengan Islam dan kaum Muslimin yang mengikuti petunjuk Islam, berpegang teguh dengan al-Qur‘ân dan Sunnah, serta berpegang dengan tali Allâh Ta'âla yang kokoh. Akan tetapi, itu adalah perbuatan merusak dan kejahatan yang ditolak oleh syari’at dan fitrah. Oleh karena itu telah datang nash-nash syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan berkawan dengan pelakunya.[5]
  5. Perbuatan sebagian orang yang melakukan bom bunuh diri dengan anggapan jihad fî sabîlillâh merupakan anggapan dan perbuatan yang rusak.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn rahimahullâh berkata:

“...yang aku maksudkan adalah orang-orang yang meledakkan bom di tengah-tengah manusia, dengan anggapan mereka bahwa itu termasuk jihâd fî sabîlillâh!"

Padahal hakekatnya, keburukan yang mereka timpakan terhadap Islam dan kaum Muslimin jauh lebih besar daripada kebaikan yang mereka perbuat. Akibat perbuatan mereka, citra Islam menjadi buruk di mata orang-orang Barat dan lainnya! Apa yang telah mereka hasilkan? Apakah orang-orang kafir mendekat kepada Islam, atau mereka semakin menjauh darinya? Sedangkan bagi umat Islam sendiri, hampir saja setiap Muslim menutupi wajahnya agar tidak dinisbatkan kepada kelompok yang membuat kegemparan dan ketakutan ini. Dan agama Islam berlepas diri darinya.

Walaupun jihâd sudah diwajibkan, akan tetapi para Sahabat tidak pernah pergi ke masyarakat kafir untuk membunuh mereka; kecuali jihad yang memiliki bendera dari penguasa yang mampu melakukan jihâd. Adapun teror ini –demi Allâh Ta'âla– merupakan cacat bagi umat Islam. Aku bersumpah dengan nama Allâh Ta'âla; bahwa kita tidak mendapatkan hasil sama sekali, bahkan sebaliknya, sesungguhnya hal itu memperburuk citra (Islam dan umat Islam). Seandainya kita meniti jalan hikmah, yaitu Pertama: bertakwa kepada Allâh Ta'âla dan memperbaiki diri, Kedua: berusaha memperbaiki orang-orang lain dengan metode-metode syari’at, sungguh hasilnya adalah hasil yang baik”. [6]

Maka, bukankah kita menginginkan perbaikan? Hanya Allâh Ta'âla-lah tempat memohon pertolongan.

[1]

Majmû’ Fatâwa 12/466
[2] Lihat: Al-Qawâidul Mutsla, hal: 148-149, karya Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn, takhrîj: Abu Muhammad Asyraf bin `Abdul Maqshûd
[3] At-Tabshîr bi Qawâ’idit Takfîr, hlm.94-98, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
[4] At-Tabshîr bi Qawâ’idit Takfîr, hlm.100-101, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
[5] Fatwa ini secara lengkap di muat di dalam Kitab At-Tabshîr bi Qawâ’idit Takfîr, hlm.100-113, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi
[6] Dari kaset awal dari Syarh Ushûlut Tafsîr, side A, tanggal 2-Rabi’ul Awwal-1419 H. Dinukil dari Kalimat Tadzkirah, hlm. 55-56

(Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII)

Tidak ada komentar: